Secabik Iman

Jalan menuju tuhan acap kali asing di mata kita, kalaupun bukan kita salah pahamkan. Para pejalan yang melintasinya akan menemukan kesunyian, tercampak dari orang ramai meskipun sang  pejalan tak lelah-lelahnya merengkuh mereka.

Shalat kali ini adalah kesekian kalinya ku akhiri dengan tundukan terdalam. Mencoba mengurai benang-benang kenangan yang tampaknya sudah kusut. Mencari secuil harapan, semoga kutemukan simpul untuk membantu menguatkan. Mengapa setiap waktu tidak pernah sama ? Ada saja yang menghilang tercecer tanpa tersadari. Mana semangat itu? Kemana aku harus memintanya ?

Teringat momen-momen indah saat dikenalkan dengan jalan ini. Jalan orang-orang yang tampak tak pernah lelah, tegar menapak lurus menuju jalan Allah. Sayap-sayap jiwa begitu ingin kukepakkan ke puncak dunia, mengabarkan kepada angin panas gurun sahara, sungai-sungai bening di Venezia dan hutan-hutan Arizona, betapa indah dan agungnya Dia. Siulan demi siulan, nyanyian demi nyanyian, seruan demi seruan... terus ku melambung tinggi berani membelah pelangi dan tak jarang harus menantang awan kelabu.

Kemudian setelah beberapa lama, kulihat kebelakang tapak-tapak yang telah kulalui. Ya Tuhan, tak ada yang berubah  atau perubahan itu begitu samar sehingga tak tampak dimata siapa saja. Tak ada yang peduli, apalagi menyalakan sumbu lentera di rumahnya.

Aku terengah-engah mengenggam napas satu demi satu. Penat. Berair mata. Apakah ini sia-sia ? Maka kumohon, izikan aku bersandar sebentar dipohon plum tua ini. Biarkan dulu aku sembunyi...  aku masih terlalu takut untuk bermimpi lagi.

Dan dimana mereka? Mereka yang dulu selalu menawarkan bunga. Yang membawakanku manisan cherry sambil bercerita tentang kisah-kisah pesaudaraan yang menakjubkan. Saat itu aku begitu percaya. Entah sekarang, kukira aku perlu memikirkannya lagi.

Atau apakah karena mereka menganggap bahwa kau sudah punya sayap sehingga ta memerlukan siapapun lagi? Seandainya mereka tahu, ingin kubisikkan, sayap ini tak selalu sempurna, ada luka-luka disetiap sudut-sudutnya. Seandainya mereka bisa merasakan, tidak hanya memerlukan sayap untuk terbang tinggi, tapi juga hati.

Beginikah memang suratannya, bahwa disini tidak ada ingar-bingar menggegapgempitakan telinga. Bahwa aku harus kuat melebihi kekuatanku sendiri sehingga aku tak boleh meminta pada manusia. Hanya memberi,memberi dan memberi. Beginikah wahai Allah, rasanya jalan menuju Surga-Mu ?

Bila benar, aku mohon tunjuki pada arah jalan-Mu. Biarkan aku untuk menjadi bagian yang menegakkannya, seletih apapun itu. Jangan biarkan gerak-gerak kecewa hembusan setan meluluh lantakkan secabik iman. Kuatkan aku untuk terus berjalan dengan telapak berdarah namun dengan mata terbuka agar selalu kulihat keindahan kasih sayang-Mu. Pada tiap tetes duka, tiap sayat rindu, tiap lara sendu, tiap perih sepi, aku tahu Engkau punya segala jawabnya. Maka ajarilah aku untuk mengerti bahasa-Mu.

Bila untuk memenangkan cahaya-Mu, aku harus menjadi orang terasing dalam kedinginan salju beku, biarlah begitu. Bila nanti ada saatnya akan hanya ada satu orang yang bertahan dalam kesendirian menekuri kalimat-Mu, bersabar dikesepian jalan-Mu, ketika dunia menganggap ia dan mimpinya adalah pasangan gila sejati, maka izinkanlah itu aku.

Dan tolong sampaikan wahai Rabb yang menguasai hamba-hamba-Nya, salamku pada musafir-musafir pejuang agama-Mu yang ergerak dengan sunyi, yang kokoh dalam hancurnya hati, yang terus memberi  tanpa henti. Merekalah manusia-manusia terpilih yang tak kan kau biarkan sendiri. Laa takhaf wa laa tahzan! Jangan takut dan jangan bersedih. Sungguh, ada Allah, kepadanya kita berharap dan Dialah sahabat yang selalu dekat.

Sekeping hati dibawa berlari
Jauh melalui jalan yang sepi
Jalan kebenaran indah terbentang
Di depan matamu para pejuang.


tulisan ini dikutip dari buku karangan Martina Rahmi..
semoga bermanfaat

0 komentar:

Spasi

Mungkin ada saat kita saling meninggi hati. Saling ?

Dan dari kejauhan, dari jarak yang terbentang-atau sengaja kita bentang, ada bincang hati di antara kita. Bincang dua hati kita yang berjalan pincang. Pincang tanpa kebersamaan, berbincang dalam kesendirian. Melantun rindu. Ternyata berat. Sangat berat, untuk jauh darimu.

Ada beberapa hal yang kita selisihi. Ada segelintir persoalan yang tak mampu kita sepakati. Hanya bukankah telah lama kita percaya: ukhuwah itu sejati dan kita membangunnya karena kecintaan hakiki.

Tapi entah kenapa tetap saja ada ketawadhuan yang lenyap ketika kesombongan itu tak sengaja hinggap.

Semoga ada rasa kangen yang menyelinap dan melunakkan hati kita.  Hingga akhirnya, kelembutan jiwa menuntun kita untuk segera bertemu. Karena jarak memberi ruang pada rindu.

0 komentar: