Untuak Diak Sayang

Assalamu’alykum wr.wb...

Dek, kakak rindu lho menyapa kalian ? Hmmm, lebih tepatnya rindu menjawab sapaan kalian. Lalu lalang di meja makan atau di lapangan, tetap saja kalian setia memberi senyuman. Kak, kak. Begitu kan ? Lalu,,, kakak kewalahan menjawabnya. Tapi sebenarnya senang, bahagia luar biasa.

Kakak baru saja melihat video khatmil, semakin membuncah kerinduan kakak. Dengan bangga kakak pamerkan pada teman-teman kuliah kakak. Terima kasih, Dek. Mengingatkan tentang itu. Tentang episode yang sebenarnya kakak juga punya, hanya saja dalam memori yang agak terpinggirkan karena kesibukan, kelalaian, kealpaan

Adek-adek mungkin bertanya bagaimana kehidupan kampus. Padahal kakak justru ingin sekali menanyakan asrama kita. Iya, asrama kita. Tempat indah nomor satu sedunia. Tolong bantu kakak mengingatnya, Dek, ingatkan tentang banyak hal. Tentang ukhuwah kita. Tentang suka-cita-airmata kita di sana. Tentang taujih pembina asrama. Tentang antrian panjang, tentang dipan, tentang makan. Ikan indosiar, ayam kecap, dendeng. Di sini tiap hari tahu-tempe. (hehe)

Tentang apa saja, dek. Ceritakan lagi semua. Karena sepertinya, tak banyak ingatan yang masih kakak punya. Tertimbun oleh aktivitas melelahkan. Ditutupi sekian banyak alasan. Langkah demi langkah menuju kemunduran. Tentang rok panjang, jilbab lebar, manset, dan kaus kaki. Bagaimana ya dulu memulainya ? Semoga tak ada bersitan melepasnya.

Tentang tilawah tiga atau lima juz sekali duduk karena ‘iqab. Kakak hampir lupa caranya. Ayo ingatkan, bagaimana caranya ?

Atau tentang setoran hapalan hari Jumat malam, rindu sekali menerima hapalan kalian..

Dulu kakak menerima hapalan kalian, dulu kakak dipanggil kakak kan ? Nah, sekarang kalian pun telah dipanggil kakak. Dan artinya, tak lama lagi kalian akan segera menjemput mimpi. Terdaftar sebagai mahasiswi di sebuah perguruan tinggi. Hati-hati, ya Dek. Di sini jahat sekali. Banyak hal yang akan menggerus hati. Tiga tahun di asrama itu benar-benar akan menuntut bukti. Benar-benar menguras energi, menghabisimu dengan banyak uji.

Mengatakan ini, kakak bukannya menakut-nakuti. Hanya agar kalian waspada tingkat tinggi. Siaga satu, berakselerasi. Karena kalian akan sangat rindu seperti yang kakak rasai, kakak tangisi. Asrama, tak ada yang menyamai sama sekali. Jangan buang-buang waktu, yaa... Manfaatkan yang masih kalian miliki. Salam sayang dari kakakmu,,

(afwan, sepertinya friend kakak sama ade2 masih sangat sedikit). Untuk yg kakak tag, sampein salam ke yang lain yaa...

0 komentar:

Tapi Bukan Aku

Pernah satu kali dalam hidupku, Kau begitu dekat dalam hidupku. Aku semakin dekat dengan kalam—Mu. Aku merasa begitu mencintai-Mu. Lalu kupinta agar bisa menatap wajahMu kelak di syurga. Duhai, memuliakanMu aku merasa mulia. Lalu entah bagaimana ceritanya, mulia berubah jadi jumawa. Aku tergelincir jatuh. Mimpiku runtuh. Lalu berbisik hatiku, mungkin bukan aku. Mungkin bukan aku yang kelak kau janjikan menatap wajahMu..

Pernah pula ada harap di hatiku akan sesuatu. Aku menginginkannya, tapi tak pernah terkata. Sudah di depan mata walau setelah itu tak pernah menjadi yang ku punya. Ia berkelok di depanku. Menghindariku. Ya, aku berkata lagi. Mungkin bukan aku. Bukan aku. Betapapun kuat harapku akan itu, betapapun aku pikir aku pantas untuk itu.

Setelah itu, usai dari shalatku, aku berdoa kepadaMu. Tapi tunggu, sejenak doaku terhenti, demi melihat teman sebelahku berdoa lebih khusyu. Kupandangi wajahnya, aku terenyuh. Ah, mungkin Kau sedang mendengar doaNya. Sedang aku lebih sering memaki-maki, tak tahu diri. Hmmm, memang bukan aku. Aku yang meminta jannah tertinggi. Tapi tak akan kudapati. Karena bukan aku.

Saat ibuku menelepon, aku sedang panik dengan banyak hal. Banyak cerita beliau yang jadi abai. Ya, bukan aku. Bukan aku yang akan menjemput syurga itu karena syurga di bawah telapak kakiku baru saja kucampakkan. Aku geram dengan diriku yang tak bisa berucap lebih lembut pada ibuku.

Aku punya teman yang baik. Berkali-kali ku hujamkan kata jahat untuknya. Ku buat hatinya rusak karena ucapanku. Dan saat sampai kesadaranku, aku sesalkan semuanya. Tapi terlambat, walau sudah kutebus dengan maaf, tetap ada bekasnya. Kadang kulihat luka di matanya, menatapku. Ah, memang bukan aku. Muamalahku sangat buruk..

Dan semuanya bertumpuk dalam diriku. Aku malu, tapi masih ada harap itu.
Kuat, semakin kuat. Walau terasa semakin berat.
Betapapun tak pantasnya aku, dengan segala hitamku.
Aku masih ingin.
Sungguh, walau ku ucap keluh, aku semakin rindu.

Maka tamparlah aku sahabat. Bawalah aku keinti ayat. Karena aku ingin tamat dengan sebaik—baik riwayat. Ku mohon,tak sesuatupun yang hentikan langkahku. Betapapun semakin hari, semakin tak pantas lisanku menyimpan hapalan, aku tak akan diam. Membiarkan hatiku akhirnya menyerah, lalu  bergumam : Mungkin bukan aku.

Maka untuk yang satu ini, tak sudi aku menyudahinya dengan kata itu. Aku pasti mampu........

0 komentar:

SS Yang Lain

SS

“Dek, Rabu sore kita pergi makan ke SS ?? Bisa ??”

Sms dari kabid kami ini jelas sulit ditolak. Jadilah di dalam keelokan pemandangan sore Rabu itu, saya dan 5 orang saudari lainnya duduk di ruangan bebas asap rokok SS Bintaro. ;)

Saat menanti pesanan datang, sang kabid bertanya. “Udah pernah ke SS sebelumnya, Dek ?”

Wah, beliau seperti membaca arti sumringah wajah kami, mungkin air muka saya khususnya.

“Hmmm, kalau di SS Bintaro Widya belum pernah, Mba. Baru kali ini.”

“Oh, tapi di SS lain pernah, Dek ?” tanya beliau lagi. Empat sahabat lain masih menyimak.

“Nah, SS lain juga belum pernah, Mba. Intinya SS Bintaro ini yang pertama” jawab saya dengan senyum dikulum. Disambut rusuh oleh teman-teman :D

Nah, kali ini izinkan saya berbicara tentang SS. Bukan Spesial Sambal atau Sambal Spesial.

Ini tentang SS yang lain. Tentang cerita yang dikisahkan Ustadz Masturi pada Santri Akhwat menjelang pulang Ma’had. Sudah beberapa minggu yang lalu sebenarnya, tapi baru ditulis sekarang.

Ini SS yang lain. Suyuthi dan Syakhawi. Dua orang shaleh di zamannnya. Mereka sebaya. Tapi tak akur, saling menjelekkan.

Kalimat yang berkali-kali diulangi ustadz dalam ceritanya, keduanya sama-sama shaleh. Entah dimana letak masalahnya, walau sesama shalihiin, keduanya tak akur. Bahkan, Syakhawi menulis buku berjudul “Kesesatan Suyuthi” dan sebaliknya Suyuthi menulis “Setrika untuk Otak Syakhawi”.

Barangkali ketinggian hati masing-masing. Memenangkan egosentris dan perasaan bahwa gue lebih baik. Padahal keduanya sama-sama shaleh. Saya sedih. Ingin menangis setiap kali ustadznya mengulang-ulang kata; keduanya shaleh. Sepertinya memang di sana penekanan kisahnya.

Ternyata, keshalehan tidak mesti berbanding lurus dengan ukhuwah yang kita miliki. Ketika akhirnya kelas ma’had sudah berakhir, saya masih tertegun untuk beberapa saat. Belum tergerak untuk melangkah pulang. Begitu pula dengan ukhtiy di sebelah saya. Mata kami beradu pandang. Dia diam, saya diam. Kita diam. Diam saja hingga sampai di rumah. Ah, mungkin dia juga teringat tentang Suyuthi dan Syakhawi masa kini yang bisa jadi hadir lagi. Diskusi kita. Tentang banyak tanya kita, kenapa begini kenapa begitu. Dunia nyata, dunia maya. Banyak ributnya.
 
Teman kita yang ini yang menjelekkan teman kita yang itu. Atau bahkan kita sendiri yang melakukannya ? Menyebut kekurangan. Mencari aib-aib teman. Tidak akur masul dengan kabid, mungkin. Merasa lebih benar. Memang masih coreng morengnya ukhuwah kita. Pantaslah wajah umat begitu jauh dari yang diharap. Jika para shalihin nya seperti ini. Meninggikan hati, memenangkan harga diri. Merasa lebih baik. Pelupuk mata panas, terbayang banyak hal. Prihatin. Dengan semua dan juga ukhuwah yang saya punya. Masih buruk rupa ukhuwah kita.

Mungkin tak perlu sesedih ini jika tak ada kata-kata: keduanya sama-sama shalih.

0 komentar:

Seperti Percaya Pada Niscaya

Hmm, lama, lama menantikannya. Meragu, benarkah ia ada. Mungkin karena aku sendiri sudah berparadigma. Membangun semacam dinding yang tinggi menghalangi hati. Dan akibatnya menganggap apa yang kutunggu hanya ada dalam cerita raja-raja yang hidup bahagia selamanya. Mustahil jadi realita.

Tapi ketinggian hati itu runtuh. Luruh.

Saat...mataku membesar bengkak, tangan dan kaki merah bengkak-bengkak juga. Kambuh lagi dia. Penyakit lama bersemi kembali. Dan ada banyak saudari mengkhawatirkannya, memerhatikannya. Sediih, senang, terharu. Menyaksikan ketulusan itu, rasanya hati jadi malu. Selama ini apa yang ku persembahkan dalam masa perkenalan kami hingga aku layak dikhawatirkan. Kebaikanku yang mana kah duhai Rabb ku yang membuatMu berkenan menghadiahkan orang-orang baik itu di sekelilingku. Menjaga. Mengajarkan sesuatu tanpa kata tapi berbekas dalam jiwa.

Aku yang sering cemberut, berkerut. Aku yang jahat, sangat jahat. Malu pada mereka.

Kakak yang rela tangannya belepotan rempah, ajian sakti dari Bima. Atau teman yang segera menawarkan diri membelikan air kelapa. Atau kakak yang membelikan obat saat cuaca menyeramkan di luar sana. Semua yang menanyakannya, atau yang melarang aku saat ingin bersepeda. Menawarkan diri mengoleskan obat lagi. Mengingatkan minum obat. Minta maaf karena lupa membelikan titipan obat, padahal yang lain juga sudah membelikan. Menyapukan butiran rempah-rempah yang jatuh setiap kali aku melangkah. Tak sungkan berdekatan berdempetan tanpa khawatir ketularan.

Ya Allah, pada Mu ku sebutkan satu-satu kebaikan mereka. Membuatku berkaca-kaca. Betapa ukhuwah itu sangat berharga, tak ada gantinya. Rasanya dikelilingi sebenar cahaya. Dan kali ini tak ada lagi paradigma, hanya percaya. Seperti percaya pada niscaya. Bahwa cinta dan ukhuwah itu tak hanya cerita.

(Dan syukurnya, penyakit ini “tahu diri”. Tak berani dia melakukan penampakan pada teman-teman di ruang ujian. Hihihi).

0 komentar:

Inget Dewi

Ini entah hadits atau apa : apabila seseorang mencela saudaranya karena sesuatu, kelak ia pun akan diuji dengan sesuatu yang sama.


Ya, kurang lebih begitu. Dan sekarang aku merasakannya. Teringat saat SMA, seorang sahabat yang tetap tidur teratur padahal mayoritas siswa asrama memiliki pola tidur yang kacau. Begadang di malam hari dan ngantuk paginya, atau ngantuk ketika di sekolah.


Sahabat itu menjaga pola tidurnya. Tidur ketika memang harus tidur. Tak terlalu paduli pada sekitarnya yang begadang. Istimewanya, ia juga hampir tak pernah memejamkan mata ketika selesai shalat Shubuh padahal teman-teman lain banyak yang terkantuk-kantuk bahkan pulas tertidur.


Dan dulu, sedikit banyak hatiku mencelanya. Menuduh bahwa dia tak belajar. Ternyata, saat ini, aku sendiri merasa nyaman dengan pola sahabat SMA itu. Mempunyai jadwal tidur teratur dan bertekad tak memicingkan mata saat al Ma’tsurat ba’da shubuh.


Hingga yang lain bertanya, kenapa kau tak belajar ? Mereka merisaukan aku yang tidur terlalu awal. Persis, persis seperti yang ditanyakan orang lain pada sahabatku dulu itu.


Batinku malah balik bertanya, apakah waktu belajar hanya malam? Lalu karena begadang semalaman akhirnya tumbang selepas shubuh bahkan baru saja mengucap salam. Setiap orang punya caranya, kan ?


Setidaknya aku jadi bisa merasa apa yang dirasakan sahabat dulu itu. Setiap orang punya strategi berbeda. Tak perlu ikut-ikutan apa yang dilakukan mayoritas lingkungan.


Tapi tak mengapa, ini jadi mengingatkanku pada sahabat itu. Pada ukhuwah kami yang unik, ukhuwah cantik.

titip doa untuk UTS y Wi.. ^^

0 komentar:

Gak Tau Mau Bilang Apa

Ini untuk seorang teman, sahabat, saudari.. Mungkin juga kakak. Sosok dengan sudut pandang dewasa, menuntun widya dengan solusi-solusinya. Solusi yang selalu setia setiap kali widya menceracau tentang ini, itu,dan apa saja. Jika widya teriak “widya mau curhat” maka serta merta menghentikan semua aktivitasnya dan dengan sabar mendengar cerita penting-gak-penting ala widya. Tak pernah keberatan menyediakan telinganya, perhatian, tatapan, solusi, bahu, dan kue-kuenya untuk widya. Widya yang jahat, egois, dan maunya menang sendiri. Maunya diperhatikan teruuuus tanpa peduli pada apa yang dihadapi orang lain. Tapi dia tak pernah keberatan. Hebat yaa ?

Suatu hari, widya bertanya. “Kamu gak pernah punya masalah ya ?” Itu karena saking tak pernahnya dia balik cerita dan mencukupkan diri mendengarkan ocehan, keluhan, dan tumpahan perasaan widya. Emang dasar widya curang. Senang, tenang, nyaman, dan tenteram saja dengan posisi gak balance ini. Widya yang ngomong, dia yang dengar.

Dan kemarin, datang cobaan itu. Adikmu, adik kita segera diambil olehNya. Adik yang foto-fotonya memenuhi halaman blogmu. Adik yang tak sabar kau nanti kehadirannya, dulu. Adik yang kau cemburui kulit lebih putihnya. Ah, hati kakak mana yang tak berduka.

Aku meneleponmu,, tak beroleh jawaban. Walaupun sebenarnya aku bingung akan mengatakan apa jika kau mengangkat teleponku.

Dan ternyata memang,,, setiap orang punya ujiannya...

Menulis ini, aku hanya ingin kau tahu, betapapun menyusahkannya aku, aku ini keluargamu. Jangan pernah merasa sendiri ya.. Semoga hati kita dikuatkan. Terkhusus, semoga hatimu dikuatkan karena selama ini tanpa kau sadari, hadirmu tak henti menguatkan. Aku menyayangimu... Yang tabah ya saudariku sayang... Luph u,,

0 komentar:

Curahan Hati Pagi

Ya, ini memang bukan saatnya merengek-rengek. Saat semua tugas kuliah benar-benar membuatmu limbung, banyak materi kuliah yang tidak kau mengerti, rasanya rontok, tenggelam, belum lagi penyakit hati dan berjuta-juta masalah seolah tak henti meyesaki. Semua minta porsi, minta posisi dalam hari-hari sulit begini. Dan itu benar-benar menguras waktu dan energi, belumlah sempat berbicara perpolitikan, ekonomi, Palestina-Yahudi, dan semua problematika di atas muka bumi.

Baiklah, tak perlu jauh-jauh berbicara isu nasional, apalagi masalah dunia. Toh, apa yang ada di dalam dirimu sendiri belum tuntas terselesaikan. Kalau begini caranya, kapan bisa berkontribusi. Sibuk dengan apa yang terjadi dalam hati, sementara banyak yang harus diperhatikan. Banyak yang harus jadi sorotan.

Akhirnya frustrasi. Dan ini konsekuensi. Gaya belajar yang acak-acakan, lalu mengatasnamakan kesibukan dengan Al Quran. Ah, itu kan karena saya sibuk tilawah, hapalan, qiyam, dan shiyam. Padahal benarkah demikian ?

Akhirnya depresi. Memang resikonya begini. Target-terget ruhi yang yak kunjung tergenapi. Hanya mempersembahkan qiyam kualitas rendah, ma’tsurat antara sadar dan tak sadar, tilawah sambil nguap-nguap, rawatib kilat dan singkat, dhuha yang kadang-kadang juga terlewat. Lalu saat ditanya, apa kabar hati ? Ingin juga menyalahkan tugas. Qiyam telat karena begadang bikin tugas, ma’tsurat ngantuk karena semalam nyari tugas, tilawah gak khusyu karena dikejar deadline tugas, dhuha lewat karena jadwal kuliah padat, rawatib buru-buru karena sudah ditunggu.

Jangan ditanya tentang kesehatan, mempertimbangkan gizi, apalagi meluangkan waktu untuk lari pagi. Wah, mending juga nyuci...

Dan semua jadi kambing hitam. Jangankan tawazun; menyelaraskan ruhi, fikri, dan jasadi. Salah satunya saja tak ada yang benar-benar terselesaikan. Terbengkalai. Lalai.

Gimana dengan muamalah ? Wong mengurusi diri sendiri saja ribet dan bikin mumet. Dan manalah pantas dilabeli aktivis da’wah. Tak menuntaskan amanah, bahkan amanah untuk sekedar bertabiyah dzatiyah. Segitu saja sudah lelah. Belum apa-apa, ya Allah.

numpang curhat ya... Afwan uni, mb, kakak, dan teman2..

0 komentar:

Dear Widya Yang Baik

“Hanya itu tanggapan widya??”

Kau bertanya padaku.

Awal-awal mulai kuliah, pernah seorang teman menceritakan tentang kerenggangannya demgan sahabat SMA nya. “Aku dan sahabat SMA ku tak akan begitu. Kami masih sering mendiskusikan banyak hal hingga sekarang.” Memercik bangga dalam hati.

Aku jadi ingat saat penghujung waktu kita di asrama, kau bercerita tak bisa nyambung dengan teman-teman SMP mu. Mungkin karena sudah berbeda fikrah, atau karena apalah. Aku lupa spekulasimu waktu itu karena aku sibuk dengan kecemasanku. Lalu kutanyakan padamu,”widya takut kalau nanti kita kayak gitu. Punya kehidupan masing-masing dan akhirnya saling melupakan.”

Mantap kau membantahku, betapa kau yakin tak akan pernah menghadapi fase yang sama seperti teman SMP mu itu terhadapku. Karena menurutmu kita sudah saling menjadi bagian hidup masing-masing. Begitu kan kau mematikan kekhawatiranku.

Hingga akhirnya, saat setiap balasan sms mu terasa asing bagiku. Mungkin begitu sebaliknya kau rasakan atasku.

Hingga, sepertinya kau mulai tak betah.

Dan besok dan besoknya lagi, semakin terasa ganjil saja dialog kita.

Dan besok dan besoknya lagi, seolah kita mulai terbiasa, tak lagi saling mengisahkan masalah-masalah kecil yang dulu seperti ritual wajib kita berdua.

Aku tidak sedang marah gara-gara kemarin kau tidak mengucapkan satu dua atau lima kalimat selamat. Ini hanya cerita berapa bulan lalu yang belum kukisahkan padamu. Bukan marah padamu, hanya terperangah pada efek jarak dan waktu. Kau dan aku, dulu.

Salam rindu.

0 komentar:

Mengeja U.K.H.U.W.A.H

Ternyata, tanpa kita sadari ada banyak hati terluka karena laku diri. Walau kadang tiada maksud menyakiti tetapi ada saja yang terlukai. Kalau sudah begini, rasa-rasanya ingin lari. Bukan karena serta merta menjelma jadi pecundang untuk menghadapi, tapi karena berjuta-juta rasa bersalah membuat hati basah. Ah, adakah dalam serpihan tubuh ini sebentuk ukhuwah ?



Dan dalam ucapanku yang selalu menyakit.

Dan dalam diamku menjelma pula kesedihan lain.



Padahal langkah mendekat itu pun tertatih, penuh letih. Terseok-seok menyeret langkah. Tak jarang sekedar merangkak, sedikit demi sedikit mamperkecil jarak.



Dalam ucapan, dalam diam.. Hanya kesalahan.. Menorehkan kesedihan..

0 komentar:

Ukhtiy Kabiirku...

Assalamu’alaykum, mb, apa kabar ? Bolehkah menyapa hatimu ? Hati yang diselubungi kekecewaan. Mungkinkah aku mengerti ? Segenap rasa yang menyelimuti.

Aku bukan siapa-siapa, sungguh bukan siapa-siapa. Kita baru saling mengenal kan, mb. Dan aku memang tak memahami apa yang kau resapi. Hingga saat kau merasa setiap jerih payahmu berbuah sia-sia, dan aku diam saja menatapmu. Sama sekali tak bisa membantu.

Maaf, maaf sesungguh-sungguh maaf. Seolah tak peduli pada apa yang terjadi. Bahkan sepatah kata pun tak sanggup keluar dari lisanku. Saat pertahanan itu akhirnya runtuh dan kau tak menemukan muaranya. Justru semakin menjejakkan kekecewaan itu. Dan aku masih membisu.

Mungkin memang cuma kata maaf, mb. Dan mencoba menjadikan yang kemarin itu sebentuk rehat. Sejenak istirahat. Menginsyafi bahwa kita memang butuh menangis. Agar hangatnya air mata membasuh hati yang mungkin saja mengeras karena kerasnya kerja keras. Lalu kita merenung, betapa bukan kita yang bekerja tapi Dia. Dan kita petik semanis-manis buahnya. Mencukupkan diri dengan tawakkal. Agar energi kita lebih tahan lama, atau bahkan dijadikan-Nya kekal.

“siapapun pernah merasa tak mampu tapi Dia yang membuat kita mampu. Karena sungguh kita memang tak mampu kecuali dimampukan yang Maha Mampu. Kau tahu kan siapa Dia itu? Rabb ku dan Rabb mu,,”

Ukhtiy kabiirku, ingat tidak romantisnya kita di jalan ini. Saling mencintai karena Dia Yang Satu, saling menyemangati untuk tujuan yang satu..

--Ketika Dia berkata pada sahabatnya, LA TAHZAN INNALLAAHA MA’ANAA, lalu Allah menurunkan sakinah (ketentraman) padanya..—

(perkataan Ash Shiddiq pada Al Amin dan diabadikan dalam surat cintaNya)

0 komentar:

Kakak Kangen Rini

Kakak kangen Rini....

Dek, apa kabar ? Sekarang udah Iqra berapa ? Sekarang ngaji sama siapa ??

Banyak yang ingin kakak tanyakan. Banyak yang ingin kakak kisahkan. Kakak juga masih punya banyak soal kuis untuk kalian. Siapa nama ayah nabi Ismail? Nabi yang bisa mengerti bahasa hewan namanya siapa ?? Hayyo...lalu kalian berebutan menjawab. Tak sabar ingin segera pulang. Walau harus tetap menanti, kita kan mau makan gorengan dulu. Mau rebutan Nutri Jell dulu. Hmmm, itu kejadiannnya kapan ya, Dek ? Rasanya kok kayak kenangan yang udah lamaaaaaaaa banget. Membatin istigfar, ternyata begitu zalimnya kakak menyia-nyiakan kalian.

Akhirnya, mendung kemarin kakak mampir ke rumahmu, Dek. Antara senang dan malu kakak memanggil, “Rin,Rin... kakak kangen kamu...” Lia yang tersenyum menyambut kakak. Senyum yang selalu membuat kakak iri, bagaimana cara Lia kecil itu tersenyum sebegitu cantiknya. Sedangkan kakak hampir lupa cara tersenyum, tersenyum dengan jujur. Seperti adikmu itu.

Sumringah menatap Lia, malu juga ada. Bergegas dia menyalami kakak. Rindu dek, sungguh rindu kalian. “Wah si kakak datang”, giliran ibu sekarang. “Udah lulus ya Kak?” Semakin tak enak hati. “Belum Bu, saya sekarang pindah ke PJMI” padahal entah apa hubungan kepindahan itu dengan ketidakhadiran.

(PJMI kan gak jauh, Wid?? Kalau pindahnya ke Padang baru boleh pakai alasan itu, ukh! Dasaar!!)

“Saya kangen Rini, Bu” bertepatan dengan keluarnya kamu. Kita bersalaman, Dek. Setelah itu sulung keluarga yang keluar, Dek Dian.

Kakak ingin menangis di depan kalian sekeluarga. Mengadukan semua kedhaifan kakak. Bukan karena kesibukan kakak tak pernah lagi datang, bukan karena pindah juga. Hanya karena hati yang kian lama kian beku, mengeras lebih keras daripada batu. Resah tak menentu. Dan sukses menghalangi kakak menjumpai kalian setiap sore.

Sore yang memberi kesempatan bagi kakak mengistirahatkan kepenatan, berbicara dengan kepolosan kalian.

Kalian kan yang mengenalkan kakak pada SMASH, favorit kalian itu. Memperlihatkan majalah yang isinya ituuuu semua. Menyanyikan lagu-lagunya untuk kakak, hehehe. Untung gak ada teman kampus kakak yang tahu. Pernah juga mengerjakan PR Kak Dian bareng-bareng, mengeja huruf Alif Ba Ta untuk Lia. Membuka mulut disertai memasukkan jempol ke mulut berarti huruf ALIF, merapatkan bibir berarti BA, menggigit lidah berarti TA. Begitu kan dek ? Walau tanpa suara, walau sekedar isyarat saja.

Ah, kalau sudah begini langsung berkaca-kaca. Nikmat yang mana yang kakak dustakan. Maka ada berjuta-juta alasan untuk tetap bertahan, untuk tak segera tumbang.



“Kemana aja sih, kak ?”



Ah, pertanyaan itu. Menunjukkan jalan yang dulu. Tuhanku, aku malu,,

0 komentar: