Seperti Percaya Pada Niscaya

Hmm, lama, lama menantikannya. Meragu, benarkah ia ada. Mungkin karena aku sendiri sudah berparadigma. Membangun semacam dinding yang tinggi menghalangi hati. Dan akibatnya menganggap apa yang kutunggu hanya ada dalam cerita raja-raja yang hidup bahagia selamanya. Mustahil jadi realita.

Tapi ketinggian hati itu runtuh. Luruh.

Saat...mataku membesar bengkak, tangan dan kaki merah bengkak-bengkak juga. Kambuh lagi dia. Penyakit lama bersemi kembali. Dan ada banyak saudari mengkhawatirkannya, memerhatikannya. Sediih, senang, terharu. Menyaksikan ketulusan itu, rasanya hati jadi malu. Selama ini apa yang ku persembahkan dalam masa perkenalan kami hingga aku layak dikhawatirkan. Kebaikanku yang mana kah duhai Rabb ku yang membuatMu berkenan menghadiahkan orang-orang baik itu di sekelilingku. Menjaga. Mengajarkan sesuatu tanpa kata tapi berbekas dalam jiwa.

Aku yang sering cemberut, berkerut. Aku yang jahat, sangat jahat. Malu pada mereka.

Kakak yang rela tangannya belepotan rempah, ajian sakti dari Bima. Atau teman yang segera menawarkan diri membelikan air kelapa. Atau kakak yang membelikan obat saat cuaca menyeramkan di luar sana. Semua yang menanyakannya, atau yang melarang aku saat ingin bersepeda. Menawarkan diri mengoleskan obat lagi. Mengingatkan minum obat. Minta maaf karena lupa membelikan titipan obat, padahal yang lain juga sudah membelikan. Menyapukan butiran rempah-rempah yang jatuh setiap kali aku melangkah. Tak sungkan berdekatan berdempetan tanpa khawatir ketularan.

Ya Allah, pada Mu ku sebutkan satu-satu kebaikan mereka. Membuatku berkaca-kaca. Betapa ukhuwah itu sangat berharga, tak ada gantinya. Rasanya dikelilingi sebenar cahaya. Dan kali ini tak ada lagi paradigma, hanya percaya. Seperti percaya pada niscaya. Bahwa cinta dan ukhuwah itu tak hanya cerita.

(Dan syukurnya, penyakit ini “tahu diri”. Tak berani dia melakukan penampakan pada teman-teman di ruang ujian. Hihihi).

0 komentar:

Inget Dewi

Ini entah hadits atau apa : apabila seseorang mencela saudaranya karena sesuatu, kelak ia pun akan diuji dengan sesuatu yang sama.


Ya, kurang lebih begitu. Dan sekarang aku merasakannya. Teringat saat SMA, seorang sahabat yang tetap tidur teratur padahal mayoritas siswa asrama memiliki pola tidur yang kacau. Begadang di malam hari dan ngantuk paginya, atau ngantuk ketika di sekolah.


Sahabat itu menjaga pola tidurnya. Tidur ketika memang harus tidur. Tak terlalu paduli pada sekitarnya yang begadang. Istimewanya, ia juga hampir tak pernah memejamkan mata ketika selesai shalat Shubuh padahal teman-teman lain banyak yang terkantuk-kantuk bahkan pulas tertidur.


Dan dulu, sedikit banyak hatiku mencelanya. Menuduh bahwa dia tak belajar. Ternyata, saat ini, aku sendiri merasa nyaman dengan pola sahabat SMA itu. Mempunyai jadwal tidur teratur dan bertekad tak memicingkan mata saat al Ma’tsurat ba’da shubuh.


Hingga yang lain bertanya, kenapa kau tak belajar ? Mereka merisaukan aku yang tidur terlalu awal. Persis, persis seperti yang ditanyakan orang lain pada sahabatku dulu itu.


Batinku malah balik bertanya, apakah waktu belajar hanya malam? Lalu karena begadang semalaman akhirnya tumbang selepas shubuh bahkan baru saja mengucap salam. Setiap orang punya caranya, kan ?


Setidaknya aku jadi bisa merasa apa yang dirasakan sahabat dulu itu. Setiap orang punya strategi berbeda. Tak perlu ikut-ikutan apa yang dilakukan mayoritas lingkungan.


Tapi tak mengapa, ini jadi mengingatkanku pada sahabat itu. Pada ukhuwah kami yang unik, ukhuwah cantik.

titip doa untuk UTS y Wi.. ^^

0 komentar:

Gak Tau Mau Bilang Apa

Ini untuk seorang teman, sahabat, saudari.. Mungkin juga kakak. Sosok dengan sudut pandang dewasa, menuntun widya dengan solusi-solusinya. Solusi yang selalu setia setiap kali widya menceracau tentang ini, itu,dan apa saja. Jika widya teriak “widya mau curhat” maka serta merta menghentikan semua aktivitasnya dan dengan sabar mendengar cerita penting-gak-penting ala widya. Tak pernah keberatan menyediakan telinganya, perhatian, tatapan, solusi, bahu, dan kue-kuenya untuk widya. Widya yang jahat, egois, dan maunya menang sendiri. Maunya diperhatikan teruuuus tanpa peduli pada apa yang dihadapi orang lain. Tapi dia tak pernah keberatan. Hebat yaa ?

Suatu hari, widya bertanya. “Kamu gak pernah punya masalah ya ?” Itu karena saking tak pernahnya dia balik cerita dan mencukupkan diri mendengarkan ocehan, keluhan, dan tumpahan perasaan widya. Emang dasar widya curang. Senang, tenang, nyaman, dan tenteram saja dengan posisi gak balance ini. Widya yang ngomong, dia yang dengar.

Dan kemarin, datang cobaan itu. Adikmu, adik kita segera diambil olehNya. Adik yang foto-fotonya memenuhi halaman blogmu. Adik yang tak sabar kau nanti kehadirannya, dulu. Adik yang kau cemburui kulit lebih putihnya. Ah, hati kakak mana yang tak berduka.

Aku meneleponmu,, tak beroleh jawaban. Walaupun sebenarnya aku bingung akan mengatakan apa jika kau mengangkat teleponku.

Dan ternyata memang,,, setiap orang punya ujiannya...

Menulis ini, aku hanya ingin kau tahu, betapapun menyusahkannya aku, aku ini keluargamu. Jangan pernah merasa sendiri ya.. Semoga hati kita dikuatkan. Terkhusus, semoga hatimu dikuatkan karena selama ini tanpa kau sadari, hadirmu tak henti menguatkan. Aku menyayangimu... Yang tabah ya saudariku sayang... Luph u,,

0 komentar:

Curahan Hati Pagi

Ya, ini memang bukan saatnya merengek-rengek. Saat semua tugas kuliah benar-benar membuatmu limbung, banyak materi kuliah yang tidak kau mengerti, rasanya rontok, tenggelam, belum lagi penyakit hati dan berjuta-juta masalah seolah tak henti meyesaki. Semua minta porsi, minta posisi dalam hari-hari sulit begini. Dan itu benar-benar menguras waktu dan energi, belumlah sempat berbicara perpolitikan, ekonomi, Palestina-Yahudi, dan semua problematika di atas muka bumi.

Baiklah, tak perlu jauh-jauh berbicara isu nasional, apalagi masalah dunia. Toh, apa yang ada di dalam dirimu sendiri belum tuntas terselesaikan. Kalau begini caranya, kapan bisa berkontribusi. Sibuk dengan apa yang terjadi dalam hati, sementara banyak yang harus diperhatikan. Banyak yang harus jadi sorotan.

Akhirnya frustrasi. Dan ini konsekuensi. Gaya belajar yang acak-acakan, lalu mengatasnamakan kesibukan dengan Al Quran. Ah, itu kan karena saya sibuk tilawah, hapalan, qiyam, dan shiyam. Padahal benarkah demikian ?

Akhirnya depresi. Memang resikonya begini. Target-terget ruhi yang yak kunjung tergenapi. Hanya mempersembahkan qiyam kualitas rendah, ma’tsurat antara sadar dan tak sadar, tilawah sambil nguap-nguap, rawatib kilat dan singkat, dhuha yang kadang-kadang juga terlewat. Lalu saat ditanya, apa kabar hati ? Ingin juga menyalahkan tugas. Qiyam telat karena begadang bikin tugas, ma’tsurat ngantuk karena semalam nyari tugas, tilawah gak khusyu karena dikejar deadline tugas, dhuha lewat karena jadwal kuliah padat, rawatib buru-buru karena sudah ditunggu.

Jangan ditanya tentang kesehatan, mempertimbangkan gizi, apalagi meluangkan waktu untuk lari pagi. Wah, mending juga nyuci...

Dan semua jadi kambing hitam. Jangankan tawazun; menyelaraskan ruhi, fikri, dan jasadi. Salah satunya saja tak ada yang benar-benar terselesaikan. Terbengkalai. Lalai.

Gimana dengan muamalah ? Wong mengurusi diri sendiri saja ribet dan bikin mumet. Dan manalah pantas dilabeli aktivis da’wah. Tak menuntaskan amanah, bahkan amanah untuk sekedar bertabiyah dzatiyah. Segitu saja sudah lelah. Belum apa-apa, ya Allah.

numpang curhat ya... Afwan uni, mb, kakak, dan teman2..

0 komentar:

Dear Widya Yang Baik

“Hanya itu tanggapan widya??”

Kau bertanya padaku.

Awal-awal mulai kuliah, pernah seorang teman menceritakan tentang kerenggangannya demgan sahabat SMA nya. “Aku dan sahabat SMA ku tak akan begitu. Kami masih sering mendiskusikan banyak hal hingga sekarang.” Memercik bangga dalam hati.

Aku jadi ingat saat penghujung waktu kita di asrama, kau bercerita tak bisa nyambung dengan teman-teman SMP mu. Mungkin karena sudah berbeda fikrah, atau karena apalah. Aku lupa spekulasimu waktu itu karena aku sibuk dengan kecemasanku. Lalu kutanyakan padamu,”widya takut kalau nanti kita kayak gitu. Punya kehidupan masing-masing dan akhirnya saling melupakan.”

Mantap kau membantahku, betapa kau yakin tak akan pernah menghadapi fase yang sama seperti teman SMP mu itu terhadapku. Karena menurutmu kita sudah saling menjadi bagian hidup masing-masing. Begitu kan kau mematikan kekhawatiranku.

Hingga akhirnya, saat setiap balasan sms mu terasa asing bagiku. Mungkin begitu sebaliknya kau rasakan atasku.

Hingga, sepertinya kau mulai tak betah.

Dan besok dan besoknya lagi, semakin terasa ganjil saja dialog kita.

Dan besok dan besoknya lagi, seolah kita mulai terbiasa, tak lagi saling mengisahkan masalah-masalah kecil yang dulu seperti ritual wajib kita berdua.

Aku tidak sedang marah gara-gara kemarin kau tidak mengucapkan satu dua atau lima kalimat selamat. Ini hanya cerita berapa bulan lalu yang belum kukisahkan padamu. Bukan marah padamu, hanya terperangah pada efek jarak dan waktu. Kau dan aku, dulu.

Salam rindu.

0 komentar:

Mengeja U.K.H.U.W.A.H

Ternyata, tanpa kita sadari ada banyak hati terluka karena laku diri. Walau kadang tiada maksud menyakiti tetapi ada saja yang terlukai. Kalau sudah begini, rasa-rasanya ingin lari. Bukan karena serta merta menjelma jadi pecundang untuk menghadapi, tapi karena berjuta-juta rasa bersalah membuat hati basah. Ah, adakah dalam serpihan tubuh ini sebentuk ukhuwah ?



Dan dalam ucapanku yang selalu menyakit.

Dan dalam diamku menjelma pula kesedihan lain.



Padahal langkah mendekat itu pun tertatih, penuh letih. Terseok-seok menyeret langkah. Tak jarang sekedar merangkak, sedikit demi sedikit mamperkecil jarak.



Dalam ucapan, dalam diam.. Hanya kesalahan.. Menorehkan kesedihan..

0 komentar: