Istana : Markazul Quran

Pernah belajar macam-macam majas ? Nah, di antaranya majas ironi. Salah satu contoh yang diberikan guru bahasa Indonesia yang teringat sampai sekarang adalah kalimat "Masuklah ke gubuk kami ini" padahal yang mendengar merasa sedang berdiri di hadapan sebuah rumah megah.

ISTANA. Kalau kawan-kawan sempat bolang ke Padangpanjang, lalu mampir ke tempat tinggal saya di sana.. tepat di depan pintu asrama akan saya katakan: "Ahlan wa sahlan, silakan masuk ke istana kami ini"

Mungkin teman-teman hanya akan melongo menatap iba setengah prihatin dengan 'istana' yang saya katakan. Tapi percayalah teman-teman, tempat ini benar-benar sepotong firdaus yang turun dari syurga lalu mendarat tepat di lembah bukit yang sejuk. Sedikit terpencil. Yang pertama kali saya datang ke sini saja, langkah itu ragu. Benarkah ada kehidupan di bawah itu? Yang siapapun kemudian saya ajak ke sana pun reaksinya sama, bimbang untuk bisa menjejakkan langkah atau kendaraannya. Di kastil kami tercinta: Markazul Quran.

 Tujuh bulan sudah saya mendekam di tempat itu. Setiap hari adalah syukur tiada henti bahwa Allah Maha Baik, Maha Menyelamatkan, Maha Memelihara diri yang sudah bingung tak tau arah kemana melangkah ini #halah :p

Setiap hari adalah semangat menggebu menatap wajah bidadari Quran yang bahkan igauan tidurnya pun hapalan terakhir yang ia miliki. Setiap hari adalah sesenggukan malu tertinggal jauh dari mereka itu. Atau kelu menyaksikan adik-adik kecil menghidupkan malam-malam bersama surat cintaNya.
di catatan ini, saya ingin bercerita tentang tiga sosok saja: Hifzhah, peri kecil anggota keluarga istana ini. Lalu Ustadz dan Umi, orangtua kami.

Suatu malam, masih jam setengah 3 pagi. Seorang adik kecil bangun lalu melipat selimutnya rapi. Setelah berwudhu, ia bertanya dengan wajahnya yang masih kemilau air wudhu : "kak ini aku shalat apa ? witir ya ?"
dengan terharu kujawab: "iya, tapi tahajjud dulu 2 rakaat"
ia masih bertanya lagi: "hmm, berapa kali kak ?"
senyum: boleh sekali atau lebih

lalu memperhatikan berdirinya yang lama. Ia shalat dua kali dua rakaat.

"kakak tadi berapa kali tahajjudnya, kak ?"
"tadi kakak empat kali.. Hifzhah baca apa aja kok lama shalatnya ?

Basah mendengar celoteh adik kelas dua itu, "rakaat satu An Naba An Naziat, rakaat duanya 'Abasa. Trus At Takwir. abis itu capek, jadi yang terakhir surat pendek hihi. Habis ini hifzhah tambah dua kali lagi ya kak biar sama kayak kakak ?"

langsung meleleh..

Ia sempurnakan 11 rakaat beserta witir. Ia usai 30 menit menjelang Shubuh, kemudian kutanyakan: "kalau hifzhah ngantuk, boleh tidur lagi. Nanti kakak bangunin.." tapi ia menggeleng, dan memilih murajaah. Iri dan cemburu dengan ringan langkahnya pada kebaikan.

Ustadz Idris dan Ummi.

Pertama kali bertemu adalah kelas 1 SMA. Pembina tahfizh di asrama.

Dulu, Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Rasulullah yang dikerubungi banyak lalat dan Imam Bukhari dalam keadaan mengipasi Rasulullah untuk mengusir lalat dalam mimpi tersebut.Beliau pun menanyakan pada gurunya Ishaq Ibnu Rawaih apakah takwil dari mimpi tersebut..dengan takwil yang begitu menarik, sang guru menjawab :
-engkaulah yang akan membersihkan hadits Rasulullah dari kepalsuan-

Sebuah kalimat yang tertancap dalam di hatinya. Menjadi tekad yang sejak memperoleh jawaban takwil dari sang guru, Imam Bukhari memusatkan perhatiannya untuk hadits.

Teringat dulu, seperti Imam Bukhari yang tersentak dengan kalimat yang menancap, saya pun sama. Tersentak dengan kalimat ustadz: "siapa yang belum selesai juz 30 maka akan tinggal kelas.

Maka saya berangkat dengan motivasi kerdil  "agar tak tinggal kelas itu". Tapi keberkahan ilmu beliau terasa merasuk hingga kini, bahkan dengan niat sekedar naik kelas pun saya rasakan kekokohan azam yang hadir setelah itu. Berpisah selama 3 tahun di kampus, selalu ada masa-masa terburuk yang membuat saya sangat terpuruk. Merasa sangat buruk. Tapi mengenang wajah beliau, ada kesejukan yang terus menyemangati. Yang membuat ingin terus kembali bangkit walau jatuh. Dan alhamdulillah kini kembali di bawah pembinaan beliau berdua lagi.

Siang tadi, dalam mimpi bertemu ustadz dan umi. Orang tua di istana kami. Kalau pulang, terasa energi yang dimiliki berkurang tak seutuh saat bersama. Tapi Allah ingatkan dengan mimpi, bahkan dalam bunga tidur tadi ustadz dan umi memberikan motivasi. Terasa alangkah berkah hidup bersama mereka, Allah jaga kokoh azam saat berjauhan lewat mimpi dengan mereka berdua. Padahal baru berpisah 4 hari.

Kalau teman-teman sempat, singgahlah ke sepotong firdaus ini. Di negeri serambi makkah padangpanjang. Istana kami: Markazul Quran.
Ramadhan, syahrul Quran..

0 komentar:

Antara Menulis dan Ramadhan

Hanya diam dengan wajah yang dipaksa pura-pura tak tertohok.. saat seseorang kakak bertanya: "dek, mana tulisan terakhirmu ?"

Setiap kali pulang ke rumah dan duduk di depan laptop, selalu ada semangat meluap-luap menulis. walau sekedar episode-episode kecil yang berhikmah, minimal kegiatan di Markazul Quran yang bisa memotivasi teman-teman. Hanya baru selesai mengetik beberapa kalimat, tiba-tiba moodnya hilang. Kadang sudah panjangg tapi terasa tak ada pemaknaan. Lebih sering lagi paragraf-paragraf mubadzir yang ngambang.

Sehari ini bertekad menulis apapun yang bisa ditulis. Rasanya kepala terlalu penuh dengan berbagai topik tapi tak pernah sampai pada satu konklusi yang bisa dijabarkan dengan sabar kata per kata. Mungkin karena memang belakangan kurang peka, minim informasi, jarang pegang pulpen, dan belakangan memang udah sedikit baca buku :'D

tapi meski begitu, tetap mimpi menulis itu menggebu. Walau sampai di sini di kalimat ini udah bingung sebenanrnya mau dibawa ke mana tulisan ini. hambar semua yang ditulis. Biarlah, dengan kaku dan terbata huruf demi huruf. Semoga cukup untuk menjawab tanya kakanda. Sekaligus menyapa teman-teman di penghujung Sya'ban: mohon maaf lahir dan batin atas banyak khilaf dan salah baik itu ucapan, sikap perbuatan, atau tulisan. Widya mohon maaf..

Sahabat, saling mendoakan ya, agar kita menjadi pribadi yang semakin cahaya. Bertakwa.

0 komentar: