Ishlah

Kemarin sore, kangen pada suasana KPPN Tangerang bersama Ummi dan Salsa. Melewati gerbang PJMI dan bapak-bapak yang menarik becak, di sana. Rencana ifthor itu baru terealisasi 1 kali :")

Rindu, pada kebaikan yang kita rencanakan bersama. Rindu, pada pola interaksi kita bertiga.

Ingat saat-saat paling berat, saat harus membanting tulang sore dan malam. Lalu pulang dalam keadaan remuk. Alangkah kalian menjadi saksi segalanya. Sebenarnya bukan banting tulang itu yang meremukkan, tapi berjuta beban yang rasanya tak tertanggungkan. Rasa bersalah dan berdosa, atas teguran-teguran Allah. Teguran yang teramat lembut, hingga sekali lagi merasa begitu dicintaiNya.
 
Ini hanya tulisan random, entah apa sebenarnya yang ingin tersampaikan. Entah apa yang sebenarnya ingin widya bicarakan.

Seperti berpikir, pernahkah Al Amin dan Ash Shiddiq 'membicarakan' Al Faruq? Hingga saat Al Faruq mengetahui pembicaraan itu, ia merasa sangat dilukai. Tidak, widya tidak sungguh-sungguh sedang ingin tau jawabannya, hanya sekedar ingin mengandai-andaikan pemisalan.

Bahkan dengan pemisalan yang sebenarnya tidak relevan. Siapa Al Amin, siapa Ash Shiddiq, siapa Al Faruq. Insan yang sempurna cintanya pada sang Pencipta. Lalu siapa kita.

Besok, kalau kita bertemu, apa yang harus kita bincangkan ? atas segala yang pergi, ada banyak yang tetap tertinggal. Juga banyak yang bertambah: ishlah. Dan itu sudah cukup untuk disyukuri. Walau separuh hati tersakiti. Bahkan sudah kita sepakati, kesakitan di jalan ini pun adalah kebaikan. Kebaikan yang mengantarkan kita pada perbaikan.

Juga, sms kemarin yang belum terjawab: tentang kesedihan seorang kawan yang merasa tak bisa berbuat apa-apa untuk diin ini. Pasti waktu akan berbaik hati menjawab keresahanmu, hanya jika 'ishlah' menghiasi hariku dan harimu.

Bukan prasangka yang menjadi-jadi. Kita, mungkin tak sebaik yang dipikirkan kebanyakan orang. Tapi juga tak seburuk yang ditudingkan oleh teman yang terlampau mengikuti sangkaannya. Bahkan sebelum kita mampu menjelaskan..

Ishlah..

0 komentar:

Di Bawah Naungan Ukhuwah

hmmm..menatap wajah dan reaksimu takut-takut. Sahabat, aku tau, sepenuhnya aku dicintai. Aku, kalian sayangi. Tiga tahun ini merasa begitu dilindungi..

Kalian hebat, kawan yang hebat.
menjaga, mengayomi.
hingga sedikitpun merasa sedikitpun diri ini tak boleh lecet di kaki, apalagi di hati.
merasa sangat disayangi.sekaligus merasa mengecewakan.

0 komentar:

Harapan itu Masih (Dan Selalu) Ada

Mungkin saja hari ini kita adalah tanah yang berdiri di persimpangan sungai. Pelan, bongkah-bongkah jiwa rontok, meski air tidak terlalu kuat menerjang. Bahkan ia menyapa dengan senyum sumringah, tetapi tubuhmu, jiwamu mengurus. Kebaikanmu terkubur dan dibawa arus, entah kemana.

Engkau bukan tercipta sebagai bongkah tanah yang kaku, aku juga.

Mari, sebelum waktu kita untuk menabur kebaikan terhenti, rontok terbawa ke muara yang tidak kita kenal. Kita hentikan ketepekuran pesimis, atau ketengadahan angkuh. Menjadi ketepekuran perenungan, dan ketengadahan semangat, cerminan jiwa yang masih percaya bisa bangun.

Ah, manusia mana yang belum pernah merasa terpuruk, jatuh hingga ‘pingsan’.

Toh, kita manusia, manusia yang tidak pernah diberikan atribut kesempurnaan. Kesempurnaan itu adalah molekul dalam pencarian, bukan titik inti manusia. Kitalah penulis puisi berjudul degradasi, saat kita larut dalam mengeluh tanpa sebuah upaya mencari jalan, menelusuri jalan yang pekat.

Mari membawa obor-obor yang memadai sehingga mereka teriak, “oh disana ternyata ada jalan.”

Bukan satu hal yang penting nama kita tercatat disana, bahwa jalan ini tertemukan olehku. Bukan. Para pahlawan tidak pernah arahkan mata hatinya untuk tujuan itu, kau pasti tahu itu.

Kita adalah pahlawan, untuk apapun yang kita dedikasikan. Bukan orientasi. Bukan nama, hanya saja agar kelak mereka teriak girang, “oh mereka tidak ajarkan tentang keindahan syurga dunia, tetapi kejujuran bahwa dunia adalah tempat keringat juang tumpah” Kita, bukan bongkah tanah di tepi sungai… yang hanya diam oleh belaian lembut kepalsuan, lalu tenggelam.

-ust Rahmat Abdullah

0 komentar:

Semampuku

ini tulisan copas..tapi membacanya teramat sangat sejuk
ditemukan tak sengaja. tapi rasanya indah. tawadhu'

Tuhanku,
Aku masih ingat, saat pertama dulu aku belajar mencintai-Mu.

Kajian demi kajian tarbiyah kupelajari,
untai demi untai kata para ustadz kuresapi.
Tentang cinta para nabi, tentang kasih para sahabat, tentang mahabbah orang shalih, tentang kerinduan para syuhada.

0 komentar:

Sekarung Timun

Kelas 2 SMP

Dulu itu ada pelajaran KTM (Keterampilan Minangkabau). Beruntung kami diajar seorang ibu yang sangat 'ibu', maka KTM disulap seketika menjadi jam Budi Pekerti. Tak hanya belajar ukiran rumah gadang tapi juga tentang pewarisan nilai kebajikan. Bahwa guru tidak sekedar mengajarkan tapi mendidik, seperti sang ibu guru.

Satu tahun diajar beliau, tapi ada satu hal yang paling paling berkesan. Paling terkenang, paling tak terlupakan.

"Perempuan dan laki-laki secara kodratnya sudah diciptakan Allah berbeda. Tidak boleh disamakan, dicampurbaurkan.."

wajah teduhnya, suara lembutnya. Tatapan matanya mengajak berbicara dari hati. Dan sampai tepat di hati. Saat itulah banyak malaikat turun ke bumi, menjadi saksi tersampaikannya nilai-nilai syurgawi.

"Laki-laki dan perempuan bagai durian dan timun. Siapapun pasti sepakat pahwa buah durian dan buah timun, tak mungkin dicampur dalam satu karung. Itu pekerjaan yang sia-sia, amalan yang membuat binasa. Yang rugi itu buah timun, nak.."

ah ibu, belum selesai kuungkapkan seluruh penyampaianmu..mataku sudah berembun. Dengan segala kenangan kebaikan yang kau tanamkan, lantas malu dalam akhlak yang tertatih-tatih kuperjuangkan.. Lalu jatuh lagi airmataku, mengenang saudariku satu-satu..hanya tersedu, barangkali setengah pilu.

-aku hanya seorang saudari yang khawatir terlalu, anggap saja begitu. Walaupun sepenuh jiwa tau, semua akan baik-baik saja karena Dia Maha Menjagamu. Yah, Dia Maha Menjaga kau dan aku


(untuk kawan muslimah anggaran: lagi-lagi edisi rindu)
:')

0 komentar: