Kalaulah Tak Percaya, Minimal Doa

Nana tak menghubungi, sms dan telepon karena belum siap cerita. Hingga telepon tadi malam yang kecewa: "kok Nana pindah? Kenapa sih Nana suka menanamkan konsep, setelah konsep itu tumbuh subur di kepala saya lalu Nana porak porandakan dan menggantinya dengan konsep baru yang bertolak belakang" :')

Iya,aku memang pernah bilang kalau menghapal Quran itu butuh lembaga. Butuh guru. Sampai sekarang juga masih begitu, ukh. Tak ada yang berubah. Menghancur-leburkan sebuah konsep, tidak juga. Dan juga ingin aku agar kau memiliki guru di sana. Yang akan mengajarkanmu meringis saat ikhfa pada huruf ta :)

Seharusnya kau percaya bahwa aku baik-baik saja. Menghela napas, apa artinya kau terpaksa.. Ujung-ujungnya kau tertawa, mungkin geleng-geleng kepala memikirkan seorang Widya. Yakinlah, sungguh akan lulus dan wisuda sesuai janji kita. Janji kita, yang terlalu kokoh, dan mustahil ingin ku dusta. Walau berhembus kadang sekelu ragu, saat ada yang bertanya: Apa iya Widya bisa?

ternyata betapapun akrabnya kita, kau dan mereka adalah sama, tak ingin sangat percaya agar aku tahu bahwa aku bertanggung jawab ketika memenangkan keras kepala. Jika belumlah aku mampu membuatmu tak ragu, kupinta doamu agar memang cita-cita itu terjaga dan hatiku dilembutkan setiap kali melangkah mendekat meraihnya.

tertegun dengan sebuah tanya: "bukankah kami dahulu bersama kamu?"
dan dijawab: "Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan kamu hanya menunggu, meragukan dan ditipu oleh angan-angan kosong..." (57:14)

0 komentar:

Afwan Jiddan

20 September 2012

Itu pertama kali aku melihatmu. Mungkin bukan hanya melihat, tapi menatap. Dikelilingi teman-teman sedangkan aku sendirian, belum berkawan. Pertama kali tapi aku sungguh merasa seperti telah mengenalmu. Hingga kini dan mungkin selamanya, aku tak mungkin lupa.

Suatu sore, dari lantai 2 sebuah kosan yang bernama "mulia", aku melihat ceria gempitamu bersama mereka. Lalu sewaktu pagi, dalam sebuah perjalanan yang insya Allah diberkahi aku tahu namamu. Sempat menanyakan pin UGM yang tersemat pada tas kecilmu.

Aku harus bercerita apalagi padamu, pada banyak waktu yang tersia. Terlampau lama, telah habis 2/3 masa. Kini tinggal sepertiganya dan barulah tersadar. Maaf, maaf, maaf.

Maaf, saat sepulang ma'had aku menangis kehilangan Quran dan tak sepenuh hati menjawab tanyamu yang peduli. Maaf, saat aku sungguh lalai tak mengimbangi buncah ghirah untuk buletin pink dulu. Maaf, aku mengabaikan ajakanmu berangkat rihlah. Terlalu bodoh membiarkan itu semua terjadi. Egois, tinggi hati. Aku harus bilang apa lagi ?

Menghela napas,menyesal. Sungguh menyesal saat tersadar bahwa ini tak akan lama lagi. Dicoba pun, tak akan seindah yang sekiranya dimulai sejak pertama kali. Diperbaiki pun, rasanya tak tertebus. Afwan jiddan, maaf sesungguh maaf. Semoga dipertemukan kelak abadi, di surga tertinggi. Lillahi, aku mencintaimu..

-maaf, tak mampu menulis banyak hal. Karena lelah menggali, sesal itu justru semakin menjadi. Pada keterlaluan Widya, afwan jiddan Fira-

0 komentar:

Seorang Pejuang

Hanya senyum mengembang saat (ternyata) beberapa teman menanyakan : "kok widya belakangan jarang nulis ?"

Iya benar, mereka sangat perhatian. Bahkan widya sendiri tak sadar kalau akhir-akhir ini tak lagi dermawan berbagi kata. Sebenarnya tak ada alasan kenapa, tapi akhirnya dari pertanyaan itu jadi berkesimpulan dan menyadari ternyata menulis itu menyehatkan dan melembutkan hati. Memang benar, adalah lega setelah warna-warni rasa menjelma jadi kata.

Mulai merangkai-rangkai apa saja yang sudah dilalui selama kehilangan menabur makna. Malam ini seperti titik kulminasi dari segalanya.

Dua hari yang lalu, menerima sms yang menyengat semangat : "Assalamu'alaikum hafizhah". Tepat saat hujan menderas. Seolah guyuran, hembusan angin, basah kuyup yang disuguhkan sungguh-sungguh ingin mengaminkan. Dan mata saya juga hujan. Mengingat bincang kami sehari sebelumnya ditingkahi es krim coklat. Tentang kerisauan : widya takut jika terlanjur malu pada kepalan tangan, pada ghirah yang telah terikrarkan, pada air mata yang mendesak berjatuhan.

Maka bentuk tanggungjawab pada akad hati untuk menuntaskan adalah realisasi. Kok mogok terus. Merenungi kemudian merintih lagi: Rabbi, aku tak tahu akan sesulit ini. Mulai membalik buku yang sebenarnya telah selesai dibaca, seperti benar-benar lupa apa isinya. Dan selalu saya percayai, relasi kualitas hapalan dan keimanan itu sangat dekat. Menggali semua yang pernah menjadi motivasi, ada sebuah tips seorang senior "jaga hati walaupun sulit."

Malu, tapi tak boleh berhenti pada malu itu sendiri. Karena hari tak mungkin berhenti menunggumu memperbaiki janji.

0 komentar: