Maaf dan Terima Kasih

Ini Senin Pagi. Dan titik-titik embun di pelupuk ingin membasah setelah semua terasa bertumpuk-tumpuk. Awalnya berat, tapi akhirnya tetap berangkat. Alhamdulillah, dan Allah masih berkenan melahirkan sebuah momentum. Lembut, tapi menggetarkan. Menyadarkan. 

"Banyak-banyak istigfar, ukh". Itu dia jawabannya..
"Widya kuat pasti bisa," ditambah seulas senyum ketulusan dan menguatkan.
"Widya jangan nangis". Dan embun pagi itu, memang tak membasuh wajah. Jatuh ke dalam, menghangatkan hati beku itu.

Maka maafkan saya, yang sepagi tadi sudah mengeluh. Membagi pesimisme dan keputusasaan. Saya jadi merasa sangat bersalah, harusnya tak boleh melemahkan. Dan sungguh ingin meralat, bahwa saat ini semua baik-baik saja :')
saya sangat baik setelah tadi pagi..

Maka terima kasih, pada dekapan erat. Pada tepukan di pundak. Pada senyum yang mencerahkan. Pada tatapan yang meneduhkan. Pada sebuncah semangat yang akhirnya datang lagi setelah sekian lama bersembunyi. Jangan lelah membersamai Widya yang sedang memperbaiki janji.

Sayang teman-teman.. Maaf dan terima kasih.. T.T

0 komentar:

AW (Aya-Widya)

"seseorang bukanlah siapa-siapa sampai dia dicintai. Dan kau telah membangunku menjadi sesuatu. Pun aku, ingin menjadikanmu seseorang.." (kurang lebih ngutip dari Lelaki Penggenggam Hujan)

Pada sapaan lucumu. Pada setiap hari menemaniku, mendengarkan aku yang mengeluh ini itu. Terima kasih. Terima kasih menemaniku di hari pertama itu. Membantu membangunkanku hampir setiap hari. Mengajariku Akuntansi Biaya. Menghitungkan uang jualan ku. Membelikan air minum saat aku menangis. Mencoba memahami aku yang aneh. Setidaknya aku tak pernah merasa ditinggalkan. Mengajak nimbang berat badan, membuatku sedikit peduli pada hal itu.
Meminjamkan HP. Membawakan tas kuliah. Mengalah pada aku yang ngotot untuk pindah tempat duduk.

Entah sadar atau tidak. Bagiku, kita begitu berharga.

Perpisahan adalah niscaya. Dan sedih adalah saat hanya bisa melambai-lambaikan tangan dari lobi gedung I ke depan mushalla.Aku di sini, kau di sana. Senyum cengar-cengir itu :p

Melintasi mushalla gedung L sendiri, rukuk sujud di sana tanpa seorang makmum. Ah, jadilah Widya yg melankolis semakin melankolis. Tak ada yang nemenin ke An Nashr lagi. Ke kantin lagi. Ke mushalla E nganter box donat lagi. Hiks.

Aku tahu, banyak yang tak tertulis di sini. Cerita kita setiap kali pulang kuliah yang hanya banyak diamnya karena kamu gk responsif :p
atau widya yang maksa-maksa cipika cipiki, mungkin kamu ngerasa geli sendiri

Terima kasih. Pada sebentuk ukhuwah lain yang kau hadiahkan.. Dan tetap ingin ku berucap, uhibbuki fillah. Aku mencintaimu karenaNya..

0 komentar:

Iri

Yang mana lagi yang bisa diingkari ? Saat di suatu waktu mulai tak percaya pada curah limpah buncah nikmatNya. Dan mungkin karena itu  beberapa waktu belakangan ini cemburu itu datang lagi. Halus tapi memang menyergapii. Hingga disentil : "Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yg lain." (4:32)

Lalu tercekat, bahwa memang tak lagi berhak menggugat. Bertanya kenapa aku begini? Kenapa dia diberi ? Memangnya aku salah apa ? Ucap, sikap, dan tanggap yg tak hanya mengerdilkan tapi menularkan keputusasaan.

Kalaulah batasan-batasan manusiawi itu menuntut untuk didengar, izinkanlah aku dan aku lalu aku. Karena seperti katamu, arogansi itu seperti selalu menemaniku.

0 komentar: