Inhiraf

Membaca lagi tulisan sang syaikhut tarbiyah: "Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, tak lain karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu"

Kita, jika mau berkaca, mungkin benar-benar compang-camping ya ukh? Atau mungkin Widya saja yang cacat, cacat niat-cacat amal-cacat hasil. Belakangan sering bertanya sendiri: jangan-jangan mereka, semua, memang tak pernah merasa sejuk dengan kehadiran kita sebagai seorang "akhwat." Malah merasa terganggu dengan kita. Sikap kita, tingkah polah kita yang masih jauh dari seharusnya. Kita yang memang manusia biasa, tak dituntut sempurna tapi setidaknya mengikhtiarkan kesempurnaan.


Terhenyak saat ibu kosan menyampaikan uneg-uneg warga yang resah dengan pergaulan laki-perempuan. Sampai harus berdiri lama mendengar keluh kesah beliau, bahkan mungkin tak hanya beliau. Tapi warga. Hingga sampai pada kaalimat: "padahal dia itu jilbaban widya." Lihat, bagaimana masyarakat mengidentifikasi kesalahan dengan apa yang tertangkap indra: pakaian. Beliau, tengah mengeluhkan tetangga saya, sesama warga Sarmili, entah siapa yang jelas dia berjibab. Begitu kata ibuknya. Dianter jemput cowoknya, cowoknya di rumah sampai malam. "Udah kayak berkeluarga aja tuh."
wajar, keresahan khas seorang ibu..

Jilbab. Sikap. Apakah mereka berdua berjalan beriringan serentak ?

Bagaimana seharusnya bapak ibuk warga merasa sejuk dengan kita. Bagaimana kita mempersaksikan pada mereka, beginilah Islam mengatur hubungan laki-laki dan perempuan. Bagaimana kita meperlihatkan pada semua bahwa seperti apa seharusnya muslimah menjaga izzah. Islam yang mulia telah memuliakan para wanita, dan tugas kita adalah bersikap mulia.

Pernah seorang saudari mengingatkan: sebenarnya saat ada teman kita yang melakukan kesalahan, itu bukanlah serta merta kesalahannya seorang. Kalau mau jujur, kamu pun punya kontribusi dan punya andil. Evaluasi lagi, mungkin Rabithah sudah jarang, sms taushiyah juga cuma kadang-kadang, dan amalan yaumiahmu juga berantakan.

Saya terdiam, mengiyakan dalam hati.
Ini hanya tulisan random, entah apa maksudnya ya? Sebelumnya, mohon izin untuk berbagi kepada ibu-ibu BPH Kabid yang shalihat dan mukminat. Boleh ya widya nge-tag? :)
Hehehe, hanya ingin menyapa lebih awal, sebelum besok pagi :)

*inhiraf=penyimpangan

0 komentar:

Inhiraf

Membaca lagi tulisan sang syaikhut tarbiyah: "Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, tak lain karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu"

Kita, jika mau berkaca, mungkin benar-benar compang-camping ya ukh? Atau mungkin Widya saja yang cacat, cacat niat-cacat amal-cacat hasil. Belakangan sering bertanya sendiri: jangan-jangan mereka, semua, memang tak pernah merasa sejuk dengan kehadiran kita sebagai seorang "akhwat." Malah merasa terganggu dengan kita. Sikap kita, tingkah polah kita yang masih jauh dari seharusnya. Kita yang memang manusia biasa, tak dituntut sempurna tapi setidaknya mengikhtiarkan kesempurnaan.


Terhenyak saat ibu kosan menyampaikan uneg-uneg warga yang resah dengan pergaulan laki-perempuan. Sampai harus berdiri lama mendengar keluh kesah beliau, bahkan mungkin tak hanya beliau. Tapi warga. Hingga sampai pada kaalimat: "padahal dia itu jilbaban widya." Lihat, bagaimana masyarakat mengidentifikasi kesalahan dengan apa yang tertangkap indra: pakaian. Beliau, tengah mengeluhkan tetangga saya, sesama warga Sarmili, entah siapa yang jelas dia berjibab. Begitu kata ibuknya. Dianter jemput cowoknya, cowoknya di rumah sampai malam. "Udah kayak berkeluarga aja tuh."
wajar, keresahan khas seorang ibu..

Jilbab. Sikap. Apakah mereka berdua berjalan beriringan serentak ?

Bagaimana seharusnya bapak ibuk warga merasa sejuk dengan kita. Bagaimana kita mempersaksikan pada mereka, beginilah Islam mengatur hubungan laki-laki dan perempuan. Bagaimana kita meperlihatkan pada semua bahwa seperti apa seharusnya muslimah menjaga izzah. Islam yang mulia telah memuliakan para wanita, dan tugas kita adalah bersikap mulia.

Pernah seorang saudari mengingatkan: sebenarnya saat ada teman kita yang melakukan kesalahan, itu bukanlah serta merta kesalahannya seorang. Kalau mau jujur, kamu pun punya kontribusi dan punya andil. Evaluasi lagi, mungkin Rabithah sudah jarang, sms taushiyah juga cuma kadang-kadang, dan amalan yaumiahmu juga berantakan.

Saya terdiam, mengiyakan dalam hati.
Ini hanya tulisan random, entah apa maksudnya ya? Sebelumnya, mohon izin untuk berbagi kepada ibu-ibu BPH Kabid yang shalihat dan mukminat. Boleh ya widya nge-tag? :)
Hehehe, hanya ingin menyapa lebih awal, sebelum besok pagi :)

*inhiraf=penyimpangan

0 komentar:

Ditanya Palestina

Seorang sahabat. Ya, sahabat yang kucinta dengan caraku mencintainya. Sahabat yang (akhirnya) melepaskan kain yang baru beberapa bulan belakangan menutupi kepalanya, (akhirnya) memperlihatkan hitam rambutnya. Hari ini (akhirnya juga) aku menanyainya, dengan cinta. Dan ia juga menjawab dengan cinta. "Doakan saja, nanti aku pakai lagi. Bukan sekarang."

Tertegun, lalu secepat kilat tersenyum. Buru-buru meralat lintasan pikiran ku : bahwa tak harus aku selalu melihat apa-apa dari sudut pandangku saja.

Ya, walau apapun, walau bagaimanapun aku mencintainya. Mungkin kami jarang saling bercerita tapi tak perlu banyak alasan untukku menempatkannya sebagai seorang istimewa di hati.  Karena kami seakidah. Percaya dengan sebenar percaya bahwa Ilah kami adalah sama: Allah.

Siang menjelang pulang saat masih kuliah Pengelolaan Utang, dia menanyaiku. Menoleh ke belakang: Hmm, widya aku mau tanya. "Sebenarnya ada apa sih Gaza?" Aku tertegun. Aduh wid, seharusnya tak boleh terkaget-kaget, harus siap dihadapkan pada pernyataan dan pertanyaan apapun oleh siapapun. Lalu teman sebelahnya menimpali: "iya, aku juga penasaran. Gak ngikutin ceritanya. Tau-tau udah heboh aja."

Allah, aku boleh bahagia untuk pertanyaan mereka itu, kan? Aku boleh bersyukur pada sakinah yang turun bersama pertanyaaan itu, lembut dan menyejukkan hatiku. Lalu berdoa, penuh harap padaMu masih dalam ketertegunanku agar Kau izinkan aku menghantarkan secercah cerah di hatinya.Titipkan hidayahMu lewat jawabanku, Rabbku.

"eh, nanti aja widya.." Lalu kembali memperhatikan dosen ke depan. Lalu kami saling diam, mungkin aku terlalu mendramatisiir jika aku merasa dia sebenarnya sedang sibuk dengan lintasan pikirannya. Dan biar Allah yang menjawab tanya itu dengan cara yang lebih elegan dan Maha Indah. Biar, kami tak jadi saling bertukar pandangan. Biar, dia tak jadi mendengarkan dan aku belum sempat mengatakan sesuatu yang layak disebut jawaban.Biar Allah yang membawa jawaban itu ke hadapan hatinya.

Dan sepulang kuliah ini, selepas sujud syukur dalam rakaat terakhir Zhuhur..aku meneruskan pesan cinta bahwa nanti ba'da Ashar kita akan menggelar kajian di lapangan A, berbagi cerita tentang Palestina, Gaza, dan para syuhada. Sahabatku, kita nanti datang ya.. Hmm, jangan marah jika ternyata tulisan ini kau baca. Cukup tahu betapa cinta seorang Widya padamu. Pun tak apa jika kau tak membacanya. Agar menjadi rahasia antara aku, Dia, dan siapa saja yang sempat melirik catatan ini. Catatan yang kutulis untukmu.

(untuk sekecil apapun upaya kita, ternyata tak pernah sia-sia. Merubah profil-picture, share gambar, nulis status. Itu menjadi berlipat maknanya saat itu semua mengantarkan banyak sahabat lain yang akhirnya bertanya, ada apa Gaza?)

karena dulu, dengan cara ini juga awalnya aku semakin mencintaiMu dan mengenal betapa indah jalanMu.

Allah lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki 2:272

0 komentar:

Ditanya Palestina

Seorang sahabat. Ya, sahabat yang kucinta dengan caraku mencintainya. Sahabat yang (akhirnya) melepaskan kain yang baru beberapa bulan belakangan menutupi kepalanya, (akhirnya) memperlihatkan hitam rambutnya. Hari ini (akhirnya juga) aku menanyainya, dengan cinta. Dan ia juga menjawab dengan cinta. "Doakan saja, nanti aku pakai lagi. Bukan sekarang."

Tertegun, lalu secepat kilat tersenyum. Buru-buru meralat lintasan pikiran ku : bahwa tak harus aku selalu melihat apa-apa dari sudut pandangku saja.

Ya, walau apapun, walau bagaimanapun aku mencintainya. Mungkin kami jarang saling bercerita tapi tak perlu banyak alasan untukku menempatkannya sebagai seorang istimewa di hati.  Karena kami seakidah. Percaya dengan sebenar percaya bahwa Ilah kami adalah sama: Allah.

Siang menjelang pulang saat masih kuliah Pengelolaan Utang, dia menanyaiku. Menoleh ke belakang: Hmm, widya aku mau tanya. "Sebenarnya ada apa sih Gaza?" Aku tertegun. Aduh wid, seharusnya tak boleh terkaget-kaget, harus siap dihadapkan pada pernyataan dan pertanyaan apapun oleh siapapun. Lalu teman sebelahnya menimpali: "iya, aku juga penasaran. Gak ngikutin ceritanya. Tau-tau udah heboh aja."

Allah, aku boleh bahagia untuk pertanyaan mereka itu, kan? Aku boleh bersyukur pada sakinah yang turun bersama pertanyaaan itu, lembut dan menyejukkan hatiku. Lalu berdoa, penuh harap padaMu masih dalam ketertegunanku agar Kau izinkan aku menghantarkan secercah cerah di hatinya.Titipkan hidayahMu lewat jawabanku, Rabbku.

"eh, nanti aja widya.." Lalu kembali memperhatikan dosen ke depan. Lalu kami saling diam, mungkin aku terlalu mendramatisiir jika aku merasa dia sebenarnya sedang sibuk dengan lintasan pikirannya. Dan biar Allah yang menjawab tanya itu dengan cara yang lebih elegan dan Maha Indah. Biar, kami tak jadi saling bertukar pandangan. Biar, dia tak jadi mendengarkan dan aku belum sempat mengatakan sesuatu yang layak disebut jawaban.Biar Allah yang membawa jawaban itu ke hadapan hatinya.

Dan sepulang kuliah ini, selepas sujud syukur dalam rakaat terakhir Zhuhur..aku meneruskan pesan cinta bahwa nanti ba'da Ashar kita akan menggelar kajian di lapangan A, berbagi cerita tentang Palestina, Gaza, dan para syuhada. Sahabatku, kita nanti datang ya.. Hmm, jangan marah jika ternyata tulisan ini kau baca. Cukup tahu betapa cinta seorang Widya padamu. Pun tak apa jika kau tak membacanya. Agar menjadi rahasia antara aku, Dia, dan siapa saja yang sempat melirik catatan ini. Catatan yang kutulis untukmu.

(untuk sekecil apapun upaya kita, ternyata tak pernah sia-sia. Merubah profil-picture, share gambar, nulis status. Itu menjadi berlipat maknanya saat itu semua mengantarkan banyak sahabat lain yang akhirnya bertanya, ada apa Gaza?)

karena dulu, dengan cara ini juga awalnya aku semakin mencintaiMu dan mengenal betapa indah jalanMu.

Allah lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki 2:272

0 komentar:

Menjadi Pemaaf

Kadang-kadang, bahkan selalu : terasa betapa Allah sangat sabar dan Maha Sabar memberikan banyak kesempatan pada kita untuk terus lebih baik. Bahkan tetap setia, Maha Setia saat seorang hambaNya begitu tertatih, terseok, bahkan sempat berhenti. Allah tak pernah pergi.

Kadang-kadang memang perlu merubah standar menjadi lebih tinggi. Karena ternyata, capaian-capaian selama ini bahkan tak butuh setetes peluh pun meraihnya. Tapi kadang-kadang juga harus pandai memaafkan diri sendiri, saat standar minimal saja tak mampu untuk sekedar disentuh.

Memaafkan diri sendiri, berhenti "cuma" menyesali. Bukan berarti terlalu banyak excuse.

Tapi menjadi lah pemaaf, karena Allah saja Maha Baik memberi kesempatan.

Karena kau memang berhak lelah, tapi ingat: setelah itu bangkit dan berlarilah lebih cepat. Melesat

0 komentar:

Bermaksiat Selama 40 Tahun

Pernah dulu di suatu masa, masanya Nabi Musa. Alaihissalam.

Allah menunda hujan turun tatkala permintaan hujan dimunajatkan oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Musa bertanya pada Allah, gerangan apa yang bisa menunda permintaannya, sementara penduduk Mesir sudah kelaparan dan binatang ternak hampir mati ?

"Ada orang yang telah bermaksiat selama 40 tahun kepadaKu. Keluarkan dia dari barisanmu !"

Lalu Musa menyuruh di antara mereka yang merasa telah bermaksiat pada Allah selama 40 tahun, keluar dari barisannya. Tidak ada yang keluar. Tapi hujan turun tak berapa lama kemudian! Musa heran, "Tuhan, hujan telah turun, padahal tidak ada seorang pun yang keluar dari barisan."

Allah menjawab, "Hai Musa, hujan turun berkat taubat hamba yang sudah bermaksiat 40 tahun kepadaKu !"

"Tunjukkanlah yaa Allah, biar kubahagiakan dia."

"Selama 40 tahun dia bermaksiat padaKu, selama itu pula Kututupi aibnya, apakah ketika ia kembali padaKu, malah Kubongkar aibnnya?" Rupanya seseorang itu telah berdoa dalam hatinya dengan segenap kesungguhannya.

-Ya Allah, aku bertaubat padaMu, selama 40 tahun Kau tutupi aib dari kemaksiatanku. Aku menyesal dan ingin kembali padaMu. Terimalah taubatku dan tutupilah aibku-

dikutip dari Catatan Hati di Setiap Doa-nya Asma Nadia dkk.

Sekiranya karena Maha Pemaafmu, aku terus bermain-main dengan hatiku. Aku selalu lupa diri dengan nikmatMu, bahkan lupa bahwa azabMu sangat pedih. Dan aku tak akan mampu menanggungnya. Telah kuhabiskan 20 tahun, mungkin penuh kesia-siaan. Merasa tenang dalam kemaksiatan. Dan Kau jaga aku dan seluruh aib-hina-dhaifku.

Teringat malam itu, dalam sebuah lingkaran cinta. Mungkin lingkaran terakhir dengan beliau yang membahaskan Bahaya Maksiat, begitu mengena. Sesaat sebelumnya berlinang air mata di antara kami, ke depannya kita tak lagi akan rutin bersua. Dan 2 tahun ini bukan waktu singkat merajut cinta. Air mata sedih akan berpisah. Juga air mata sesal atas banyak khilaf yang telah tercipta, sesal karena 2 tahun aku ini seperti menyia. Tumbuh, tapi semakin hari semakin buruk. Dan hari ini, ingin sekali menyudahi setiap salah. Semoga benar-benar jadi belajar, bahwa waktu tak akan menunggu. Allah Maha Baik. Dia tidak menzalimi hambaNya tapi kamu menzalimi dirimu sendiri. Jangan lupa lagi.

Demi cintaNya padaku, dan cintaku padaNya. Juga pada mereka: bidadari-bidadari syurga itu. Aku ingin tumbuh lebih baik. Untuk dakwah yang mereka cinta dan aku ingin mencintaiNya, sampai perjanjian denganNya berakhir.

0 komentar:

Tunas

Malam ini, penat meminta waktu. Barangkali cukup untuk sedikit bercerita tentang dua nama.

Kak Farida. Ingin sekali berjumpa denganmu.. Bagaimana adik-adik TPA itu antusias mengisahkan kakak kepadaku semenjak dua tahun lalu, mungkin cukup menjadi alasan untuk ingin mengenalmu. Bahwa tak hilang dari memori mereka tentang kebaikan-kebajikan yang kau jejakkan di hati setiap tunas shalihah itu.

Sekalipun aku memang belum bertatap muka denganmu, tapi rindu sesungguh rindu. Tentang ikhlasmu, tentang tulusmu. Penilaian adik-adik yang jujur. Binar mata mereka saat berbincang tentangmu. Tak banyak yang kutahu, selain kebaikan yang terus diulang-ulang oleh mereka. Entah mengapa, merasa dikuatkan hanya dengan mendengar namamu saja. Dan aku merasa mengenalimu dalam doa. Rintihan kata padaNya agar aku memiliki semangat yang sama.

Yang kedua, pada kak Iwik (dewi Ratna), orang pertama yang menyemai tarbawi penuh makna, persis membidik-mengena. Dan memaksaku terus setia, setia menjaga apa-apa yang dulu kau tanam tepat di lahan jiwa. Kakak sekarang di mana kah, kakak sekarang apa kabar kah. Saksikan lah kami kak, tunas-tunasmu dulu. Teringat Rabithah pertemuan terakhir kita. Semoga ada menara cahaya syurga walau kini membentang jarak di dunia.

Saat lelah, saat payah. Selalu ada sejuta alasan untuk bertahan. Bahkan "hanya" dengan dua nama : kak Farida dan kak Dewi Ratna.

0 komentar: