Untuak Diak Sayang

Assalamu’alykum wr.wb...

Dek, kakak rindu lho menyapa kalian ? Hmmm, lebih tepatnya rindu menjawab sapaan kalian. Lalu lalang di meja makan atau di lapangan, tetap saja kalian setia memberi senyuman. Kak, kak. Begitu kan ? Lalu,,, kakak kewalahan menjawabnya. Tapi sebenarnya senang, bahagia luar biasa.

Kakak baru saja melihat video khatmil, semakin membuncah kerinduan kakak. Dengan bangga kakak pamerkan pada teman-teman kuliah kakak. Terima kasih, Dek. Mengingatkan tentang itu. Tentang episode yang sebenarnya kakak juga punya, hanya saja dalam memori yang agak terpinggirkan karena kesibukan, kelalaian, kealpaan

Adek-adek mungkin bertanya bagaimana kehidupan kampus. Padahal kakak justru ingin sekali menanyakan asrama kita. Iya, asrama kita. Tempat indah nomor satu sedunia. Tolong bantu kakak mengingatnya, Dek, ingatkan tentang banyak hal. Tentang ukhuwah kita. Tentang suka-cita-airmata kita di sana. Tentang taujih pembina asrama. Tentang antrian panjang, tentang dipan, tentang makan. Ikan indosiar, ayam kecap, dendeng. Di sini tiap hari tahu-tempe. (hehe)

Tentang apa saja, dek. Ceritakan lagi semua. Karena sepertinya, tak banyak ingatan yang masih kakak punya. Tertimbun oleh aktivitas melelahkan. Ditutupi sekian banyak alasan. Langkah demi langkah menuju kemunduran. Tentang rok panjang, jilbab lebar, manset, dan kaus kaki. Bagaimana ya dulu memulainya ? Semoga tak ada bersitan melepasnya.

Tentang tilawah tiga atau lima juz sekali duduk karena ‘iqab. Kakak hampir lupa caranya. Ayo ingatkan, bagaimana caranya ?

Atau tentang setoran hapalan hari Jumat malam, rindu sekali menerima hapalan kalian..

Dulu kakak menerima hapalan kalian, dulu kakak dipanggil kakak kan ? Nah, sekarang kalian pun telah dipanggil kakak. Dan artinya, tak lama lagi kalian akan segera menjemput mimpi. Terdaftar sebagai mahasiswi di sebuah perguruan tinggi. Hati-hati, ya Dek. Di sini jahat sekali. Banyak hal yang akan menggerus hati. Tiga tahun di asrama itu benar-benar akan menuntut bukti. Benar-benar menguras energi, menghabisimu dengan banyak uji.

Mengatakan ini, kakak bukannya menakut-nakuti. Hanya agar kalian waspada tingkat tinggi. Siaga satu, berakselerasi. Karena kalian akan sangat rindu seperti yang kakak rasai, kakak tangisi. Asrama, tak ada yang menyamai sama sekali. Jangan buang-buang waktu, yaa... Manfaatkan yang masih kalian miliki. Salam sayang dari kakakmu,,

(afwan, sepertinya friend kakak sama ade2 masih sangat sedikit). Untuk yg kakak tag, sampein salam ke yang lain yaa...

0 komentar:

Tapi Bukan Aku

Pernah satu kali dalam hidupku, Kau begitu dekat dalam hidupku. Aku semakin dekat dengan kalam—Mu. Aku merasa begitu mencintai-Mu. Lalu kupinta agar bisa menatap wajahMu kelak di syurga. Duhai, memuliakanMu aku merasa mulia. Lalu entah bagaimana ceritanya, mulia berubah jadi jumawa. Aku tergelincir jatuh. Mimpiku runtuh. Lalu berbisik hatiku, mungkin bukan aku. Mungkin bukan aku yang kelak kau janjikan menatap wajahMu..

Pernah pula ada harap di hatiku akan sesuatu. Aku menginginkannya, tapi tak pernah terkata. Sudah di depan mata walau setelah itu tak pernah menjadi yang ku punya. Ia berkelok di depanku. Menghindariku. Ya, aku berkata lagi. Mungkin bukan aku. Bukan aku. Betapapun kuat harapku akan itu, betapapun aku pikir aku pantas untuk itu.

Setelah itu, usai dari shalatku, aku berdoa kepadaMu. Tapi tunggu, sejenak doaku terhenti, demi melihat teman sebelahku berdoa lebih khusyu. Kupandangi wajahnya, aku terenyuh. Ah, mungkin Kau sedang mendengar doaNya. Sedang aku lebih sering memaki-maki, tak tahu diri. Hmmm, memang bukan aku. Aku yang meminta jannah tertinggi. Tapi tak akan kudapati. Karena bukan aku.

Saat ibuku menelepon, aku sedang panik dengan banyak hal. Banyak cerita beliau yang jadi abai. Ya, bukan aku. Bukan aku yang akan menjemput syurga itu karena syurga di bawah telapak kakiku baru saja kucampakkan. Aku geram dengan diriku yang tak bisa berucap lebih lembut pada ibuku.

Aku punya teman yang baik. Berkali-kali ku hujamkan kata jahat untuknya. Ku buat hatinya rusak karena ucapanku. Dan saat sampai kesadaranku, aku sesalkan semuanya. Tapi terlambat, walau sudah kutebus dengan maaf, tetap ada bekasnya. Kadang kulihat luka di matanya, menatapku. Ah, memang bukan aku. Muamalahku sangat buruk..

Dan semuanya bertumpuk dalam diriku. Aku malu, tapi masih ada harap itu.
Kuat, semakin kuat. Walau terasa semakin berat.
Betapapun tak pantasnya aku, dengan segala hitamku.
Aku masih ingin.
Sungguh, walau ku ucap keluh, aku semakin rindu.

Maka tamparlah aku sahabat. Bawalah aku keinti ayat. Karena aku ingin tamat dengan sebaik—baik riwayat. Ku mohon,tak sesuatupun yang hentikan langkahku. Betapapun semakin hari, semakin tak pantas lisanku menyimpan hapalan, aku tak akan diam. Membiarkan hatiku akhirnya menyerah, lalu  bergumam : Mungkin bukan aku.

Maka untuk yang satu ini, tak sudi aku menyudahinya dengan kata itu. Aku pasti mampu........

0 komentar:

SS Yang Lain

SS

“Dek, Rabu sore kita pergi makan ke SS ?? Bisa ??”

Sms dari kabid kami ini jelas sulit ditolak. Jadilah di dalam keelokan pemandangan sore Rabu itu, saya dan 5 orang saudari lainnya duduk di ruangan bebas asap rokok SS Bintaro. ;)

Saat menanti pesanan datang, sang kabid bertanya. “Udah pernah ke SS sebelumnya, Dek ?”

Wah, beliau seperti membaca arti sumringah wajah kami, mungkin air muka saya khususnya.

“Hmmm, kalau di SS Bintaro Widya belum pernah, Mba. Baru kali ini.”

“Oh, tapi di SS lain pernah, Dek ?” tanya beliau lagi. Empat sahabat lain masih menyimak.

“Nah, SS lain juga belum pernah, Mba. Intinya SS Bintaro ini yang pertama” jawab saya dengan senyum dikulum. Disambut rusuh oleh teman-teman :D

Nah, kali ini izinkan saya berbicara tentang SS. Bukan Spesial Sambal atau Sambal Spesial.

Ini tentang SS yang lain. Tentang cerita yang dikisahkan Ustadz Masturi pada Santri Akhwat menjelang pulang Ma’had. Sudah beberapa minggu yang lalu sebenarnya, tapi baru ditulis sekarang.

Ini SS yang lain. Suyuthi dan Syakhawi. Dua orang shaleh di zamannnya. Mereka sebaya. Tapi tak akur, saling menjelekkan.

Kalimat yang berkali-kali diulangi ustadz dalam ceritanya, keduanya sama-sama shaleh. Entah dimana letak masalahnya, walau sesama shalihiin, keduanya tak akur. Bahkan, Syakhawi menulis buku berjudul “Kesesatan Suyuthi” dan sebaliknya Suyuthi menulis “Setrika untuk Otak Syakhawi”.

Barangkali ketinggian hati masing-masing. Memenangkan egosentris dan perasaan bahwa gue lebih baik. Padahal keduanya sama-sama shaleh. Saya sedih. Ingin menangis setiap kali ustadznya mengulang-ulang kata; keduanya shaleh. Sepertinya memang di sana penekanan kisahnya.

Ternyata, keshalehan tidak mesti berbanding lurus dengan ukhuwah yang kita miliki. Ketika akhirnya kelas ma’had sudah berakhir, saya masih tertegun untuk beberapa saat. Belum tergerak untuk melangkah pulang. Begitu pula dengan ukhtiy di sebelah saya. Mata kami beradu pandang. Dia diam, saya diam. Kita diam. Diam saja hingga sampai di rumah. Ah, mungkin dia juga teringat tentang Suyuthi dan Syakhawi masa kini yang bisa jadi hadir lagi. Diskusi kita. Tentang banyak tanya kita, kenapa begini kenapa begitu. Dunia nyata, dunia maya. Banyak ributnya.
 
Teman kita yang ini yang menjelekkan teman kita yang itu. Atau bahkan kita sendiri yang melakukannya ? Menyebut kekurangan. Mencari aib-aib teman. Tidak akur masul dengan kabid, mungkin. Merasa lebih benar. Memang masih coreng morengnya ukhuwah kita. Pantaslah wajah umat begitu jauh dari yang diharap. Jika para shalihin nya seperti ini. Meninggikan hati, memenangkan harga diri. Merasa lebih baik. Pelupuk mata panas, terbayang banyak hal. Prihatin. Dengan semua dan juga ukhuwah yang saya punya. Masih buruk rupa ukhuwah kita.

Mungkin tak perlu sesedih ini jika tak ada kata-kata: keduanya sama-sama shalih.

0 komentar: