Seindah Penyesalan

"Andai aku tersalah ya Allah, izinkan itu menjadi sebaik-baik hikmah. Bukan sesal yang marah.."

Suatu siang, pernah seorang kawan bercerita tentang laptopnya yang hilang. Lalu dia sedih, bahkan pilu. Bukan karena hilangnya laptop itu tapi karena hikmah yang dijejakkan Allah di hatinya. Kadang, sesuatu menjadi tak sesederhana yang dilihat orang lain. Orang lain tak tau apa yang dirasa sesungguhnya, kita pun tak juga pernah tau persis seperti apa mereka dipinjami luka. Luka kita, rasa mereka. Atau rasa kita, luka mereka.

Pun seseorang yang ingin kukisahkan sejak lama tapi terus tertunda. Tertunda karena khawatir jika aku tak sukses membagi hikmahnya yang luar biasa. Tentang beliau, bapak yang sering kusapa dan kulihat itu, disertai kepingan-kepingan sesal yang dimilikinya. Kesal pada diri sendiri. Mungkin setiap hamba pernah merasakannya.


Beliau kehilangan kesehatan, sulit diceritakan persisnya. Kesehatan, apa yang dipinjami diambil lebih awal olehNya dan membuat beliau yang aku berkisah tentangnya ini putus asa. Menangis, meraung, dan ingin mati saja. Allah. Berkali-kali, berhari-hari beliau bilang: "aku ingin mati saja."

Adalah kami, atau aku, mungkin senang mengatakan seharusnya beliau ikhlas menerima. Tapi sepertinya, ini menjadi tak sederhana karena yang ditangisi bisa jadi bukan 'sekedar' kesehatan yang hilang. Tapi hukuman Allah atas hilangnya kesehatan itu. Dan setiap kali didera rasa sakit: mengingatkannya pada dosa penyebab sakit ini. Dan itu menjadi bertambah sakit karena sekarang dosa itu punya bukti.

Seperti seorang guru SD saya dulu yang menangis di depan kami muridnya, beliau (agak) tuli. Yang ditangisi bukan berkurangnya pendengaran karena usia yang sebenarnya masih cukup muda. Tapi setiap beliau kesulitan mendengar, timbul penyesalan karena teringat lagi penyebab Allah ambil nikmat mendengar itu. Beliau sering mengabaikan ucapan orangtuanya. Tapi begitu lah Penyayangnya Ia, agar berhenri bersikap acuh pada kedua orangtua haruslah disadarkan. maka direnggut pendengaran. Beliau menangis, tapi mensyukuri. Allah punya cara mendidiknya agar tak menjadi anak durhaka.


Allah, dan aku tak akan mampu jika kau ambil semua yang memang sejatinya milikMu, karena dalam setiap jengkal diri ini penuh dengan kesalahan yang layak dihukumi.

Tak ingin menjadi mereka yang terlempar ke neraka. Walau ada banyak alasan bagi diri ini untuk berakhir di sana: "orang-orang yang bermain-main dalam perbuatan dosa, pada hari itu mereka didorong ke neraka Jahannam sekuat-kuatnya" (52:12-13)

0 komentar:

Geram

Kawan, kau tahu rasanya seperti apa ? Seperti katamu kemarin. Membohongi semua orang.
Allah masih Maha Menjaga semua aib kita.

"...sedangkan orang bodoh adalah yang memperturutkan hawa nafsunya namun kemudian berharap muluk kepada Allah" (HR. Turmudzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

-kita, mereka, dan prasangaka
Allah Maha Baik menutup segala aib

ingin kuberi tahu seperti apa rasanya : geram. Mendapati salah yang sama terus berulang.

0 komentar:

Idealisme-Keangkuhan-Fleksibilitas-Meremehkan

Sepertinya tipis sekali beda antara idealisme dan keangkuhan. Betapa saya merasa seorang saudara begitu jumawa dengan idealismenya. Hanya ingin mempertontonkan betapa idealisnya seorang dia. Walau kadang juga hinggap ragu, jangan-jangan hanya saya yang tak mampu berbaik sangka.

Dan juga, di sisi satunya. Begitu samar beda antara fleksibilitas dengan meremehkan. Saat mulai melonggar, mencair, dan bertoleransi..adakah sesungguh fleksibel atau nyata-nyata meremehkan.

Maka karena begitu sedikit jarak idealime dan keangkuhan, karena tak banyak beda fleksibel dan meremehkan..jadikanlah idealisme ku sesungguh takut kepadaMu. Bukan karena angkuhku di hadapan hamba-hambaMu. Pun jika aku melonggar-mencair-dan bertoleransi dengan sikapku juga bahasa smsku atau apapun itu, jadikan itu selurus niat mengatakan pada mereka bahwa aku manusia yang ingin memanusiakannya. Bukan karena meremehkan laranganMu, ataupun menambah rusak hati dan iman hambaMu itu.

Dengan apa harus kujawab tanyaMu :

"apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allah untuk menghukummu?" (5:144)

0 komentar:

Selemah-Lemah Iman

Marah adalah saat menyaksikan, mendengar, merasa ada yang salah dari kamu. Ada yang salah, ada yang salah. Dari kamu. Kamu yang dulu pernah membersamaiku dalam majlis-majlis kebaikan. Pernah. Dulu.

Majlis kebaikan, masih ingat kan ?

Kalaupun akhirnya, kamu memilih dia, lelah menjadi seperti aku yang begini-begini saja. Maka pergilah. Lalu kembali. Kembali saat aku mulai ingat untuk mendoakanmu lagi. Saat aku tahu seperti apa akibat lupa menyelipkan namamu dalam bait-bait penghambaanku padaNya. Melapangkan diri untuk tak hanya memohon perlindungan bagi diri pribadi tapi mendoakanmu juga agar dilindungi.

Benar, aku yang salah. Dan aku marah. Marah pada diri sendiri tentang betapa terlambat menyadari bahwa memang bolak balik itu milik setiap hati. Dan selemah-lemah iman itu mendoakanmu. Mendoakanmu agar lekas kembali.

0 komentar:

Aku Melihat

Menjumpai sahabat-sahabat sebaik itu, sekontributif itu. Sepagi tadi. Sesenja hari ini. Dan mereka, setiap dirinya mampu menghembuskan semacam kelu: ah, surga masih sangat jauh untukku

Menggombali dengan kata-kata: "hai cantik ;P
Tersenyum penuh arti, menatap lama-lama dengan setulus hati, atau pura-pura marah. Apapun, seluruh sikap dari dirinya atau di dalam ekspresi yang dipersembahkannya menjadi sebuah energi. Malu hati, Allahu Rabbi aku menyesali minimnya kontribusi. Kabid danus yang sibuk menghitung hasil dagangan, teman HPD yang totalitas perjuangan :), ah semua.. Tak perlu kusebutkan satu per satu. Karena terlanjur aku sudah malu.

Malam ini, sepulang dari kajian pekanan akhwat..sepanjang Ceger-Sarmili terbayang kembali setiap wajah tadi yang membangkitkan semangat. Semangat, sesuatu yang di hatiku belakangan karam-tenggelam. Nyaris padam, dilalaikan oleh duniawi yang melenakan. Lillahi, membenci setiap yang membuat ku jauh dariNya maka aku membencinya. Dan wallahi, mencintai apa yang mendekatkan ku padaNya maka aku mencintai kalian.

Dan yang belum berhadir, siapa tahu ada semangat yang hampir hilang, entah sedang bersembunyi dimana semangat itu lalu muncul seketika setelah kita bersua..maka hadirilah pertemuan dengan saudari-saudarimu. Mungkin kan tertemui lecutan kebaikan itu lagi. Lewat tatapan mata, geraknya yang menggerakkan hati, senyum yang menggetarkan, gombalannya yang menyenangkan, atau wajahnya yang meneduhkan. Sungguh, aku sungguh menemukan itu semua senja hari ini. Hmm, juga tadi pagi.

Menatap lingkaran kita di bawah senja yang jingga, aku melihat masa depan Islam yang gemilang di tangan muslimah-muslimah hebat Anggaran. Afwan jiddan untuk banyak kekurangan, kekhilafan, ketidak-layakan, ke-kurangkontributifan. Terima kasih untuk telah menghadirkan semacam kelu yang bertalu di kalbu: ah, surga masih sangat jauh, untukku..

Semoga Allah senantiasa menumbuhsuburkan kebaikan di antara kita dalam setiap ikhtiar menuju surgaNya.
terima kasih dan maaf, saudariku (jika boleh aku menyebutmu begitu :')

sepenuh cinta, Widya. (Di tengah tugas Etprof yang belum selesai-selesai juga :')

0 komentar:

Inhiraf

Membaca lagi tulisan sang syaikhut tarbiyah: "Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, tak lain karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu"

Kita, jika mau berkaca, mungkin benar-benar compang-camping ya ukh? Atau mungkin Widya saja yang cacat, cacat niat-cacat amal-cacat hasil. Belakangan sering bertanya sendiri: jangan-jangan mereka, semua, memang tak pernah merasa sejuk dengan kehadiran kita sebagai seorang "akhwat." Malah merasa terganggu dengan kita. Sikap kita, tingkah polah kita yang masih jauh dari seharusnya. Kita yang memang manusia biasa, tak dituntut sempurna tapi setidaknya mengikhtiarkan kesempurnaan.


Terhenyak saat ibu kosan menyampaikan uneg-uneg warga yang resah dengan pergaulan laki-perempuan. Sampai harus berdiri lama mendengar keluh kesah beliau, bahkan mungkin tak hanya beliau. Tapi warga. Hingga sampai pada kaalimat: "padahal dia itu jilbaban widya." Lihat, bagaimana masyarakat mengidentifikasi kesalahan dengan apa yang tertangkap indra: pakaian. Beliau, tengah mengeluhkan tetangga saya, sesama warga Sarmili, entah siapa yang jelas dia berjibab. Begitu kata ibuknya. Dianter jemput cowoknya, cowoknya di rumah sampai malam. "Udah kayak berkeluarga aja tuh."
wajar, keresahan khas seorang ibu..

Jilbab. Sikap. Apakah mereka berdua berjalan beriringan serentak ?

Bagaimana seharusnya bapak ibuk warga merasa sejuk dengan kita. Bagaimana kita mempersaksikan pada mereka, beginilah Islam mengatur hubungan laki-laki dan perempuan. Bagaimana kita meperlihatkan pada semua bahwa seperti apa seharusnya muslimah menjaga izzah. Islam yang mulia telah memuliakan para wanita, dan tugas kita adalah bersikap mulia.

Pernah seorang saudari mengingatkan: sebenarnya saat ada teman kita yang melakukan kesalahan, itu bukanlah serta merta kesalahannya seorang. Kalau mau jujur, kamu pun punya kontribusi dan punya andil. Evaluasi lagi, mungkin Rabithah sudah jarang, sms taushiyah juga cuma kadang-kadang, dan amalan yaumiahmu juga berantakan.

Saya terdiam, mengiyakan dalam hati.
Ini hanya tulisan random, entah apa maksudnya ya? Sebelumnya, mohon izin untuk berbagi kepada ibu-ibu BPH Kabid yang shalihat dan mukminat. Boleh ya widya nge-tag? :)
Hehehe, hanya ingin menyapa lebih awal, sebelum besok pagi :)

*inhiraf=penyimpangan

0 komentar:

Inhiraf

Membaca lagi tulisan sang syaikhut tarbiyah: "Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, tak lain karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu"

Kita, jika mau berkaca, mungkin benar-benar compang-camping ya ukh? Atau mungkin Widya saja yang cacat, cacat niat-cacat amal-cacat hasil. Belakangan sering bertanya sendiri: jangan-jangan mereka, semua, memang tak pernah merasa sejuk dengan kehadiran kita sebagai seorang "akhwat." Malah merasa terganggu dengan kita. Sikap kita, tingkah polah kita yang masih jauh dari seharusnya. Kita yang memang manusia biasa, tak dituntut sempurna tapi setidaknya mengikhtiarkan kesempurnaan.


Terhenyak saat ibu kosan menyampaikan uneg-uneg warga yang resah dengan pergaulan laki-perempuan. Sampai harus berdiri lama mendengar keluh kesah beliau, bahkan mungkin tak hanya beliau. Tapi warga. Hingga sampai pada kaalimat: "padahal dia itu jilbaban widya." Lihat, bagaimana masyarakat mengidentifikasi kesalahan dengan apa yang tertangkap indra: pakaian. Beliau, tengah mengeluhkan tetangga saya, sesama warga Sarmili, entah siapa yang jelas dia berjibab. Begitu kata ibuknya. Dianter jemput cowoknya, cowoknya di rumah sampai malam. "Udah kayak berkeluarga aja tuh."
wajar, keresahan khas seorang ibu..

Jilbab. Sikap. Apakah mereka berdua berjalan beriringan serentak ?

Bagaimana seharusnya bapak ibuk warga merasa sejuk dengan kita. Bagaimana kita mempersaksikan pada mereka, beginilah Islam mengatur hubungan laki-laki dan perempuan. Bagaimana kita meperlihatkan pada semua bahwa seperti apa seharusnya muslimah menjaga izzah. Islam yang mulia telah memuliakan para wanita, dan tugas kita adalah bersikap mulia.

Pernah seorang saudari mengingatkan: sebenarnya saat ada teman kita yang melakukan kesalahan, itu bukanlah serta merta kesalahannya seorang. Kalau mau jujur, kamu pun punya kontribusi dan punya andil. Evaluasi lagi, mungkin Rabithah sudah jarang, sms taushiyah juga cuma kadang-kadang, dan amalan yaumiahmu juga berantakan.

Saya terdiam, mengiyakan dalam hati.
Ini hanya tulisan random, entah apa maksudnya ya? Sebelumnya, mohon izin untuk berbagi kepada ibu-ibu BPH Kabid yang shalihat dan mukminat. Boleh ya widya nge-tag? :)
Hehehe, hanya ingin menyapa lebih awal, sebelum besok pagi :)

*inhiraf=penyimpangan

0 komentar:

Ditanya Palestina

Seorang sahabat. Ya, sahabat yang kucinta dengan caraku mencintainya. Sahabat yang (akhirnya) melepaskan kain yang baru beberapa bulan belakangan menutupi kepalanya, (akhirnya) memperlihatkan hitam rambutnya. Hari ini (akhirnya juga) aku menanyainya, dengan cinta. Dan ia juga menjawab dengan cinta. "Doakan saja, nanti aku pakai lagi. Bukan sekarang."

Tertegun, lalu secepat kilat tersenyum. Buru-buru meralat lintasan pikiran ku : bahwa tak harus aku selalu melihat apa-apa dari sudut pandangku saja.

Ya, walau apapun, walau bagaimanapun aku mencintainya. Mungkin kami jarang saling bercerita tapi tak perlu banyak alasan untukku menempatkannya sebagai seorang istimewa di hati.  Karena kami seakidah. Percaya dengan sebenar percaya bahwa Ilah kami adalah sama: Allah.

Siang menjelang pulang saat masih kuliah Pengelolaan Utang, dia menanyaiku. Menoleh ke belakang: Hmm, widya aku mau tanya. "Sebenarnya ada apa sih Gaza?" Aku tertegun. Aduh wid, seharusnya tak boleh terkaget-kaget, harus siap dihadapkan pada pernyataan dan pertanyaan apapun oleh siapapun. Lalu teman sebelahnya menimpali: "iya, aku juga penasaran. Gak ngikutin ceritanya. Tau-tau udah heboh aja."

Allah, aku boleh bahagia untuk pertanyaan mereka itu, kan? Aku boleh bersyukur pada sakinah yang turun bersama pertanyaaan itu, lembut dan menyejukkan hatiku. Lalu berdoa, penuh harap padaMu masih dalam ketertegunanku agar Kau izinkan aku menghantarkan secercah cerah di hatinya.Titipkan hidayahMu lewat jawabanku, Rabbku.

"eh, nanti aja widya.." Lalu kembali memperhatikan dosen ke depan. Lalu kami saling diam, mungkin aku terlalu mendramatisiir jika aku merasa dia sebenarnya sedang sibuk dengan lintasan pikirannya. Dan biar Allah yang menjawab tanya itu dengan cara yang lebih elegan dan Maha Indah. Biar, kami tak jadi saling bertukar pandangan. Biar, dia tak jadi mendengarkan dan aku belum sempat mengatakan sesuatu yang layak disebut jawaban.Biar Allah yang membawa jawaban itu ke hadapan hatinya.

Dan sepulang kuliah ini, selepas sujud syukur dalam rakaat terakhir Zhuhur..aku meneruskan pesan cinta bahwa nanti ba'da Ashar kita akan menggelar kajian di lapangan A, berbagi cerita tentang Palestina, Gaza, dan para syuhada. Sahabatku, kita nanti datang ya.. Hmm, jangan marah jika ternyata tulisan ini kau baca. Cukup tahu betapa cinta seorang Widya padamu. Pun tak apa jika kau tak membacanya. Agar menjadi rahasia antara aku, Dia, dan siapa saja yang sempat melirik catatan ini. Catatan yang kutulis untukmu.

(untuk sekecil apapun upaya kita, ternyata tak pernah sia-sia. Merubah profil-picture, share gambar, nulis status. Itu menjadi berlipat maknanya saat itu semua mengantarkan banyak sahabat lain yang akhirnya bertanya, ada apa Gaza?)

karena dulu, dengan cara ini juga awalnya aku semakin mencintaiMu dan mengenal betapa indah jalanMu.

Allah lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki 2:272

0 komentar:

Ditanya Palestina

Seorang sahabat. Ya, sahabat yang kucinta dengan caraku mencintainya. Sahabat yang (akhirnya) melepaskan kain yang baru beberapa bulan belakangan menutupi kepalanya, (akhirnya) memperlihatkan hitam rambutnya. Hari ini (akhirnya juga) aku menanyainya, dengan cinta. Dan ia juga menjawab dengan cinta. "Doakan saja, nanti aku pakai lagi. Bukan sekarang."

Tertegun, lalu secepat kilat tersenyum. Buru-buru meralat lintasan pikiran ku : bahwa tak harus aku selalu melihat apa-apa dari sudut pandangku saja.

Ya, walau apapun, walau bagaimanapun aku mencintainya. Mungkin kami jarang saling bercerita tapi tak perlu banyak alasan untukku menempatkannya sebagai seorang istimewa di hati.  Karena kami seakidah. Percaya dengan sebenar percaya bahwa Ilah kami adalah sama: Allah.

Siang menjelang pulang saat masih kuliah Pengelolaan Utang, dia menanyaiku. Menoleh ke belakang: Hmm, widya aku mau tanya. "Sebenarnya ada apa sih Gaza?" Aku tertegun. Aduh wid, seharusnya tak boleh terkaget-kaget, harus siap dihadapkan pada pernyataan dan pertanyaan apapun oleh siapapun. Lalu teman sebelahnya menimpali: "iya, aku juga penasaran. Gak ngikutin ceritanya. Tau-tau udah heboh aja."

Allah, aku boleh bahagia untuk pertanyaan mereka itu, kan? Aku boleh bersyukur pada sakinah yang turun bersama pertanyaaan itu, lembut dan menyejukkan hatiku. Lalu berdoa, penuh harap padaMu masih dalam ketertegunanku agar Kau izinkan aku menghantarkan secercah cerah di hatinya.Titipkan hidayahMu lewat jawabanku, Rabbku.

"eh, nanti aja widya.." Lalu kembali memperhatikan dosen ke depan. Lalu kami saling diam, mungkin aku terlalu mendramatisiir jika aku merasa dia sebenarnya sedang sibuk dengan lintasan pikirannya. Dan biar Allah yang menjawab tanya itu dengan cara yang lebih elegan dan Maha Indah. Biar, kami tak jadi saling bertukar pandangan. Biar, dia tak jadi mendengarkan dan aku belum sempat mengatakan sesuatu yang layak disebut jawaban.Biar Allah yang membawa jawaban itu ke hadapan hatinya.

Dan sepulang kuliah ini, selepas sujud syukur dalam rakaat terakhir Zhuhur..aku meneruskan pesan cinta bahwa nanti ba'da Ashar kita akan menggelar kajian di lapangan A, berbagi cerita tentang Palestina, Gaza, dan para syuhada. Sahabatku, kita nanti datang ya.. Hmm, jangan marah jika ternyata tulisan ini kau baca. Cukup tahu betapa cinta seorang Widya padamu. Pun tak apa jika kau tak membacanya. Agar menjadi rahasia antara aku, Dia, dan siapa saja yang sempat melirik catatan ini. Catatan yang kutulis untukmu.

(untuk sekecil apapun upaya kita, ternyata tak pernah sia-sia. Merubah profil-picture, share gambar, nulis status. Itu menjadi berlipat maknanya saat itu semua mengantarkan banyak sahabat lain yang akhirnya bertanya, ada apa Gaza?)

karena dulu, dengan cara ini juga awalnya aku semakin mencintaiMu dan mengenal betapa indah jalanMu.

Allah lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki 2:272

0 komentar:

Menjadi Pemaaf

Kadang-kadang, bahkan selalu : terasa betapa Allah sangat sabar dan Maha Sabar memberikan banyak kesempatan pada kita untuk terus lebih baik. Bahkan tetap setia, Maha Setia saat seorang hambaNya begitu tertatih, terseok, bahkan sempat berhenti. Allah tak pernah pergi.

Kadang-kadang memang perlu merubah standar menjadi lebih tinggi. Karena ternyata, capaian-capaian selama ini bahkan tak butuh setetes peluh pun meraihnya. Tapi kadang-kadang juga harus pandai memaafkan diri sendiri, saat standar minimal saja tak mampu untuk sekedar disentuh.

Memaafkan diri sendiri, berhenti "cuma" menyesali. Bukan berarti terlalu banyak excuse.

Tapi menjadi lah pemaaf, karena Allah saja Maha Baik memberi kesempatan.

Karena kau memang berhak lelah, tapi ingat: setelah itu bangkit dan berlarilah lebih cepat. Melesat

0 komentar:

Bermaksiat Selama 40 Tahun

Pernah dulu di suatu masa, masanya Nabi Musa. Alaihissalam.

Allah menunda hujan turun tatkala permintaan hujan dimunajatkan oleh Nabi Musa dan pengikutnya. Musa bertanya pada Allah, gerangan apa yang bisa menunda permintaannya, sementara penduduk Mesir sudah kelaparan dan binatang ternak hampir mati ?

"Ada orang yang telah bermaksiat selama 40 tahun kepadaKu. Keluarkan dia dari barisanmu !"

Lalu Musa menyuruh di antara mereka yang merasa telah bermaksiat pada Allah selama 40 tahun, keluar dari barisannya. Tidak ada yang keluar. Tapi hujan turun tak berapa lama kemudian! Musa heran, "Tuhan, hujan telah turun, padahal tidak ada seorang pun yang keluar dari barisan."

Allah menjawab, "Hai Musa, hujan turun berkat taubat hamba yang sudah bermaksiat 40 tahun kepadaKu !"

"Tunjukkanlah yaa Allah, biar kubahagiakan dia."

"Selama 40 tahun dia bermaksiat padaKu, selama itu pula Kututupi aibnya, apakah ketika ia kembali padaKu, malah Kubongkar aibnnya?" Rupanya seseorang itu telah berdoa dalam hatinya dengan segenap kesungguhannya.

-Ya Allah, aku bertaubat padaMu, selama 40 tahun Kau tutupi aib dari kemaksiatanku. Aku menyesal dan ingin kembali padaMu. Terimalah taubatku dan tutupilah aibku-

dikutip dari Catatan Hati di Setiap Doa-nya Asma Nadia dkk.

Sekiranya karena Maha Pemaafmu, aku terus bermain-main dengan hatiku. Aku selalu lupa diri dengan nikmatMu, bahkan lupa bahwa azabMu sangat pedih. Dan aku tak akan mampu menanggungnya. Telah kuhabiskan 20 tahun, mungkin penuh kesia-siaan. Merasa tenang dalam kemaksiatan. Dan Kau jaga aku dan seluruh aib-hina-dhaifku.

Teringat malam itu, dalam sebuah lingkaran cinta. Mungkin lingkaran terakhir dengan beliau yang membahaskan Bahaya Maksiat, begitu mengena. Sesaat sebelumnya berlinang air mata di antara kami, ke depannya kita tak lagi akan rutin bersua. Dan 2 tahun ini bukan waktu singkat merajut cinta. Air mata sedih akan berpisah. Juga air mata sesal atas banyak khilaf yang telah tercipta, sesal karena 2 tahun aku ini seperti menyia. Tumbuh, tapi semakin hari semakin buruk. Dan hari ini, ingin sekali menyudahi setiap salah. Semoga benar-benar jadi belajar, bahwa waktu tak akan menunggu. Allah Maha Baik. Dia tidak menzalimi hambaNya tapi kamu menzalimi dirimu sendiri. Jangan lupa lagi.

Demi cintaNya padaku, dan cintaku padaNya. Juga pada mereka: bidadari-bidadari syurga itu. Aku ingin tumbuh lebih baik. Untuk dakwah yang mereka cinta dan aku ingin mencintaiNya, sampai perjanjian denganNya berakhir.

0 komentar:

Tunas

Malam ini, penat meminta waktu. Barangkali cukup untuk sedikit bercerita tentang dua nama.

Kak Farida. Ingin sekali berjumpa denganmu.. Bagaimana adik-adik TPA itu antusias mengisahkan kakak kepadaku semenjak dua tahun lalu, mungkin cukup menjadi alasan untuk ingin mengenalmu. Bahwa tak hilang dari memori mereka tentang kebaikan-kebajikan yang kau jejakkan di hati setiap tunas shalihah itu.

Sekalipun aku memang belum bertatap muka denganmu, tapi rindu sesungguh rindu. Tentang ikhlasmu, tentang tulusmu. Penilaian adik-adik yang jujur. Binar mata mereka saat berbincang tentangmu. Tak banyak yang kutahu, selain kebaikan yang terus diulang-ulang oleh mereka. Entah mengapa, merasa dikuatkan hanya dengan mendengar namamu saja. Dan aku merasa mengenalimu dalam doa. Rintihan kata padaNya agar aku memiliki semangat yang sama.

Yang kedua, pada kak Iwik (dewi Ratna), orang pertama yang menyemai tarbawi penuh makna, persis membidik-mengena. Dan memaksaku terus setia, setia menjaga apa-apa yang dulu kau tanam tepat di lahan jiwa. Kakak sekarang di mana kah, kakak sekarang apa kabar kah. Saksikan lah kami kak, tunas-tunasmu dulu. Teringat Rabithah pertemuan terakhir kita. Semoga ada menara cahaya syurga walau kini membentang jarak di dunia.

Saat lelah, saat payah. Selalu ada sejuta alasan untuk bertahan. Bahkan "hanya" dengan dua nama : kak Farida dan kak Dewi Ratna.

0 komentar:

Kalaulah Tak Percaya, Minimal Doa

Nana tak menghubungi, sms dan telepon karena belum siap cerita. Hingga telepon tadi malam yang kecewa: "kok Nana pindah? Kenapa sih Nana suka menanamkan konsep, setelah konsep itu tumbuh subur di kepala saya lalu Nana porak porandakan dan menggantinya dengan konsep baru yang bertolak belakang" :')

Iya,aku memang pernah bilang kalau menghapal Quran itu butuh lembaga. Butuh guru. Sampai sekarang juga masih begitu, ukh. Tak ada yang berubah. Menghancur-leburkan sebuah konsep, tidak juga. Dan juga ingin aku agar kau memiliki guru di sana. Yang akan mengajarkanmu meringis saat ikhfa pada huruf ta :)

Seharusnya kau percaya bahwa aku baik-baik saja. Menghela napas, apa artinya kau terpaksa.. Ujung-ujungnya kau tertawa, mungkin geleng-geleng kepala memikirkan seorang Widya. Yakinlah, sungguh akan lulus dan wisuda sesuai janji kita. Janji kita, yang terlalu kokoh, dan mustahil ingin ku dusta. Walau berhembus kadang sekelu ragu, saat ada yang bertanya: Apa iya Widya bisa?

ternyata betapapun akrabnya kita, kau dan mereka adalah sama, tak ingin sangat percaya agar aku tahu bahwa aku bertanggung jawab ketika memenangkan keras kepala. Jika belumlah aku mampu membuatmu tak ragu, kupinta doamu agar memang cita-cita itu terjaga dan hatiku dilembutkan setiap kali melangkah mendekat meraihnya.

tertegun dengan sebuah tanya: "bukankah kami dahulu bersama kamu?"
dan dijawab: "Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan kamu hanya menunggu, meragukan dan ditipu oleh angan-angan kosong..." (57:14)

0 komentar:

Afwan Jiddan

20 September 2012

Itu pertama kali aku melihatmu. Mungkin bukan hanya melihat, tapi menatap. Dikelilingi teman-teman sedangkan aku sendirian, belum berkawan. Pertama kali tapi aku sungguh merasa seperti telah mengenalmu. Hingga kini dan mungkin selamanya, aku tak mungkin lupa.

Suatu sore, dari lantai 2 sebuah kosan yang bernama "mulia", aku melihat ceria gempitamu bersama mereka. Lalu sewaktu pagi, dalam sebuah perjalanan yang insya Allah diberkahi aku tahu namamu. Sempat menanyakan pin UGM yang tersemat pada tas kecilmu.

Aku harus bercerita apalagi padamu, pada banyak waktu yang tersia. Terlampau lama, telah habis 2/3 masa. Kini tinggal sepertiganya dan barulah tersadar. Maaf, maaf, maaf.

Maaf, saat sepulang ma'had aku menangis kehilangan Quran dan tak sepenuh hati menjawab tanyamu yang peduli. Maaf, saat aku sungguh lalai tak mengimbangi buncah ghirah untuk buletin pink dulu. Maaf, aku mengabaikan ajakanmu berangkat rihlah. Terlalu bodoh membiarkan itu semua terjadi. Egois, tinggi hati. Aku harus bilang apa lagi ?

Menghela napas,menyesal. Sungguh menyesal saat tersadar bahwa ini tak akan lama lagi. Dicoba pun, tak akan seindah yang sekiranya dimulai sejak pertama kali. Diperbaiki pun, rasanya tak tertebus. Afwan jiddan, maaf sesungguh maaf. Semoga dipertemukan kelak abadi, di surga tertinggi. Lillahi, aku mencintaimu..

-maaf, tak mampu menulis banyak hal. Karena lelah menggali, sesal itu justru semakin menjadi. Pada keterlaluan Widya, afwan jiddan Fira-

0 komentar:

Seorang Pejuang

Hanya senyum mengembang saat (ternyata) beberapa teman menanyakan : "kok widya belakangan jarang nulis ?"

Iya benar, mereka sangat perhatian. Bahkan widya sendiri tak sadar kalau akhir-akhir ini tak lagi dermawan berbagi kata. Sebenarnya tak ada alasan kenapa, tapi akhirnya dari pertanyaan itu jadi berkesimpulan dan menyadari ternyata menulis itu menyehatkan dan melembutkan hati. Memang benar, adalah lega setelah warna-warni rasa menjelma jadi kata.

Mulai merangkai-rangkai apa saja yang sudah dilalui selama kehilangan menabur makna. Malam ini seperti titik kulminasi dari segalanya.

Dua hari yang lalu, menerima sms yang menyengat semangat : "Assalamu'alaikum hafizhah". Tepat saat hujan menderas. Seolah guyuran, hembusan angin, basah kuyup yang disuguhkan sungguh-sungguh ingin mengaminkan. Dan mata saya juga hujan. Mengingat bincang kami sehari sebelumnya ditingkahi es krim coklat. Tentang kerisauan : widya takut jika terlanjur malu pada kepalan tangan, pada ghirah yang telah terikrarkan, pada air mata yang mendesak berjatuhan.

Maka bentuk tanggungjawab pada akad hati untuk menuntaskan adalah realisasi. Kok mogok terus. Merenungi kemudian merintih lagi: Rabbi, aku tak tahu akan sesulit ini. Mulai membalik buku yang sebenarnya telah selesai dibaca, seperti benar-benar lupa apa isinya. Dan selalu saya percayai, relasi kualitas hapalan dan keimanan itu sangat dekat. Menggali semua yang pernah menjadi motivasi, ada sebuah tips seorang senior "jaga hati walaupun sulit."

Malu, tapi tak boleh berhenti pada malu itu sendiri. Karena hari tak mungkin berhenti menunggumu memperbaiki janji.

0 komentar:

Maaf dan Terima Kasih

Ini Senin Pagi. Dan titik-titik embun di pelupuk ingin membasah setelah semua terasa bertumpuk-tumpuk. Awalnya berat, tapi akhirnya tetap berangkat. Alhamdulillah, dan Allah masih berkenan melahirkan sebuah momentum. Lembut, tapi menggetarkan. Menyadarkan. 

"Banyak-banyak istigfar, ukh". Itu dia jawabannya..
"Widya kuat pasti bisa," ditambah seulas senyum ketulusan dan menguatkan.
"Widya jangan nangis". Dan embun pagi itu, memang tak membasuh wajah. Jatuh ke dalam, menghangatkan hati beku itu.

Maka maafkan saya, yang sepagi tadi sudah mengeluh. Membagi pesimisme dan keputusasaan. Saya jadi merasa sangat bersalah, harusnya tak boleh melemahkan. Dan sungguh ingin meralat, bahwa saat ini semua baik-baik saja :')
saya sangat baik setelah tadi pagi..

Maka terima kasih, pada dekapan erat. Pada tepukan di pundak. Pada senyum yang mencerahkan. Pada tatapan yang meneduhkan. Pada sebuncah semangat yang akhirnya datang lagi setelah sekian lama bersembunyi. Jangan lelah membersamai Widya yang sedang memperbaiki janji.

Sayang teman-teman.. Maaf dan terima kasih.. T.T

0 komentar:

AW (Aya-Widya)

"seseorang bukanlah siapa-siapa sampai dia dicintai. Dan kau telah membangunku menjadi sesuatu. Pun aku, ingin menjadikanmu seseorang.." (kurang lebih ngutip dari Lelaki Penggenggam Hujan)

Pada sapaan lucumu. Pada setiap hari menemaniku, mendengarkan aku yang mengeluh ini itu. Terima kasih. Terima kasih menemaniku di hari pertama itu. Membantu membangunkanku hampir setiap hari. Mengajariku Akuntansi Biaya. Menghitungkan uang jualan ku. Membelikan air minum saat aku menangis. Mencoba memahami aku yang aneh. Setidaknya aku tak pernah merasa ditinggalkan. Mengajak nimbang berat badan, membuatku sedikit peduli pada hal itu.
Meminjamkan HP. Membawakan tas kuliah. Mengalah pada aku yang ngotot untuk pindah tempat duduk.

Entah sadar atau tidak. Bagiku, kita begitu berharga.

Perpisahan adalah niscaya. Dan sedih adalah saat hanya bisa melambai-lambaikan tangan dari lobi gedung I ke depan mushalla.Aku di sini, kau di sana. Senyum cengar-cengir itu :p

Melintasi mushalla gedung L sendiri, rukuk sujud di sana tanpa seorang makmum. Ah, jadilah Widya yg melankolis semakin melankolis. Tak ada yang nemenin ke An Nashr lagi. Ke kantin lagi. Ke mushalla E nganter box donat lagi. Hiks.

Aku tahu, banyak yang tak tertulis di sini. Cerita kita setiap kali pulang kuliah yang hanya banyak diamnya karena kamu gk responsif :p
atau widya yang maksa-maksa cipika cipiki, mungkin kamu ngerasa geli sendiri

Terima kasih. Pada sebentuk ukhuwah lain yang kau hadiahkan.. Dan tetap ingin ku berucap, uhibbuki fillah. Aku mencintaimu karenaNya..

0 komentar:

Iri

Yang mana lagi yang bisa diingkari ? Saat di suatu waktu mulai tak percaya pada curah limpah buncah nikmatNya. Dan mungkin karena itu  beberapa waktu belakangan ini cemburu itu datang lagi. Halus tapi memang menyergapii. Hingga disentil : "Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yg lain." (4:32)

Lalu tercekat, bahwa memang tak lagi berhak menggugat. Bertanya kenapa aku begini? Kenapa dia diberi ? Memangnya aku salah apa ? Ucap, sikap, dan tanggap yg tak hanya mengerdilkan tapi menularkan keputusasaan.

Kalaulah batasan-batasan manusiawi itu menuntut untuk didengar, izinkanlah aku dan aku lalu aku. Karena seperti katamu, arogansi itu seperti selalu menemaniku.

0 komentar:

Lelah

Lelah. Saat kau tak tahu lagi cara menangisi kemunduran-kemunduranmu. Atau mungkin kau lupa, atau mulai meremehkannya.

Entahlah. Mungkin dan barangkali. Hampir selalu seperti itu, nyaris tanpa jawaban pasti. Dan tentu saja kau lelah. Akhirnya menyerah pada tangis yang enggan membasah. Pada air mata yang kering, pelit bersimbah. Lalu hanya tengadah.

Sampai kau paksakan. Pilu sesenggukan. Tak tahu kenapa hatimu begitu membatu. Tidak, bukan tak tahu. Tapi kau malu untuk mengaku bahwa itu harga mahal yang harus dibayar untuk maksiatmu. Pada janji yang tak juga bosan terkhianati. Pada janji yang tak kunjung pernah tertepati.

Seteguh harusmu, serapuh jadimu. Maka rasai, kau mulai lelah sendiri.

Berhentilah berdusta, berhentilah membuat dirimu tersiksa. Karena kau pun sudah punya jawabannya, jauh sebelum kau tanyakan kenapa.

(sungguh ini tentang aku. Aku yang minta didoakan sensitivitas keimanan tingkat tinggi dan juga nurani paling bening yang kumiliki. Untuk diin ini.)

0 komentar:

A-Asykuru am Akfur ?

Buka pertama sesampai di kampuang tacinto.. #horeeeee#

@ rumah nenek dengan menu : sala, onde-onde, semangka, kelapa muda, mie goreng, ayam goreng, gulai kambing, ikan bakar, pepes ikan, dan bakwan. Belum dimakan pun, sekedar dipandang pun, rasanya sudah kenyang duluan. Ibu, begitu saya memanggil nenek saya, memang selalu wah menjamu menantunya (papa saya) dan cucunya (saya dan adik-adik saya). Istimewa banget kalau dapat mertua orang Pariaman..
*kode ;)

Tapi, hari ini bukan itu yang teristimewa..

Istimewa adalah saat ruang tengah rumah kami menjadi tempat sujud papa, mama, dan saya. Saat papa mengimami tarawih pertama kali seumur hidup saya. Jam 12, tengah malam ini kami memulainya dalam keadaan lelah sesampai di rumah..

Mungkin ini biasa untuk kawan-kawan lain. Tapi istimewa buat saya. Saat saya berwudhu di belakang, tiga sajadah itu telah terkembang. Saat saya belum mengenakan mukena, takbir papa telah berkumandang. Kalah merdu memang,, jika dibandingkan ust Sunarso di MBM. Jauuuuuh...tapi saya senang dan tenang..

Allah, nikmatMu yg mana yg kudustai? Memang tak layak Engkau terus ku khiananati, lagi dan lagi..

jagalah lembut hati imam tarawih saya malam ini ya Hadii. Pun seorang makmum yang berdiri di sebelah saya yg memang lembut hati. "juga untukmu seumpamanya," ucap malaikat mengamini.

"Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan" (93:11)

0 komentar:

Satu atau Dua Detik

keluar dari jalan mede rumah tante. Diiringi tangisan alfi yang pilu ditinggalkan saya. Padahal baru saja tadi malam dijanjikan HP Angry Bird. "besok kita beli ya, biar Alfi bisa telpon kakak." Dia boleh sakit hati saya tinggalkan sepagi ini, tanpa janji yang terealisasi. Tak tega sebenarnya. Jadi ragu, ingin balik lagi. Tapi ya sudah wid, ini sudah terlambat seharusnya.

Merogoh saku menjelang mulut gang. Uang saya tak ada untuk angkot. Ingin kembali ke rumah meminta ongkos ke tante. Di dompet tinggal selembar terakhir sebelum pulang. Bimbang antara balik lagi atau uangnya dipecah. Ya sudah, jajan aja.

Jalan...terus jalan.. Warung-warung tutup. Agak jauh, akhirnya ketemu warung yang buka. Saya beli permen dan roti. Dua ribu saja.

Dan di depan warung itu saya tunggu angkotnya. Tepat, ketika seorang akhwat bergamis hijau di seberang ingin menyeberang. Dalam satu atau dua detik kemudian, senyum kami terkembang.

Ah,ini dia hikmahnya. Kenapa saya tak bertahan karena tangisan Alfi. Kenapa saya tak kembali ke rumah untuk meminta ongkos. Kenapa warung-warung yang dekat tutup semua. Kenapa warung itu yg buka. Itu hanya untuk sebuah alasan :karena saya harus bertemu dg akhwat ini. Akhwat yang memercikkan girang di hati saya. Bahwa ada orang sepenanggungan. bahwa "jalan yg saya tempuh ini" tak selengang yang saya bayangkan.

Setelah kami bersalaman, dilanjutkan dialog ringan selayaknya orang yg baru saja berkenalan.

"wajah kebaikan itu bisa mencari tahu siapa kawannya"-kata pak Cahyadi. Mudah-mudahan memang demikian. Wajah kebaikan yang mengenal wajah kebaikan lain. Ketika di atas angkot pun, saya diperkenalkan dg kawan beliau yg telah duluan di atas angkot yg kami tumpangi. Mb yg harus memindahkan ma'tsurat yg tergenggam untuk menjabat tangan saya. Selebihnya senyum tulus perpisahan ketika mereka turun. Ukhuwah itu memang menggetarkan, sekaligus menguatkan.

H-1 pulang

0 komentar:

Pernah Muda

Takjub mendapati kita bisa senyambung ini.  Setelah dihitung selama 8 tahun peerkenalan kita, 1 SMP sampe tingkat 2, kita baru pernah bertatap muka 9 kali dengan yang tadi. Benar-benar bisa dihitung.Maka mari ucapkan wow :)

Pertama, lomba pidato bahasa Inggris dan baca puisi di SMP Negeri 1 Lubuak Basuang tacinto
Kedua, lomba pidato bahasa Inggris di Kantor Dinas Pendidikan Lubuak Basuang tacinto
Ketiga, berpapasan di CREATIVE Lubuak Basuang tacinto
Keempat, Resa ngajar di kelas Widya di CREATIVE Lubuak Basuang tacinto
Kelima, nginap di Padang untuk pidato bahasa Inggris dan menulis karya tulis
Keenam, sekejap di Bukittinggi
Ketujuh, di Gramedia Padang
Kedelapan, tingkat satu tahun lalu di Gramedia Bintaro
Kesembilan, hari ini dalam rangka ifthor jama'i

Sesuatu ya, Cha :')
Maka mari berterima kasih kembali pada tokoh-tokoh yang menjadi sebab perkenalan kita. Saudara Ravio Patra Asri (mantan ketua Osis SMA Negeri 3 Lubuak Basuang tacinto) dan Yoki Dwi Febrian (peraih nilai UN tertinggi angkatan 2007 SMP 1 Lubuak Basuang tacinto)

-walau sekali pun saya tak pernah ikut lomba pidato nya. Hiks, padahal pengen-

'ala kulli hal, terima kasih, terima kasih. Untuk hari ini. Walau mungkin kita hanya akan ketemu lagi tahun depan, mari saling mengikat hati dengan doa :)

0 komentar:

Just Thinking

Saya tak ingin mengatakan bahwa ini sebuah kegalauan. Galau itu pilihan dan saya tidak memilihnya. Ini hanya kontemplasi. Apa yang menjadi tanya bertubi-tubi. Menjadi-jadi.

Ketika cultural shock itu menimpa saya. Terlempar ke sebuah tempat yang hiruk. *lebay lu,wid (kata seorang kawan).

Biarlah,saya tahu saya terlampau banyak berkisah dan berkeluh kesah. Tapi ada yang sedang bertumbuh di pikir saya. Kesimpulan dari pemahaman saya selama ini. Belum final memang tapi lebih teruji, walau kadang rasanya sungguh menyesakkan pikiran dan hati.
*tuh kan apa gua bilang, lebay lu*
-.-'
 
Kata seorang kawan, "belum tentu orang yang paling ketat dan strick itu yang paling baik. Sebenarnya merekalah ikhwah paling lemah, paling rentan, dan paling mengkhawatirkan." Entah, kalimat itu diperuntukkan untuk saya atau untuk dirinya sendiri atau untuk kawan kami.

Tetap saja saya pikir orang fleksibel itu meresahkan. Dekat mereka bikin gerah. Walau mungkin saya pernah. Naudzubillah.

Belum juga rasanya puas, saya sampaikan pada seseorang itu saat saya pulang. Seseorang yang banyak membantu saya berakselerasi pada pemahaman saya. "Saat ini,jenis ujiannya memang demikian. Dinikmati saja dan buktikan bahwa anti tahan uji. Karena besar harapan uni, wdya bisa meringankan beban da'wah ini."

Tangis yang tumpah. Tapi aplikasi jauh dari harapan. Jauh. Tak mampu selurus di sana. Tak mampu seteguh dan setangguh di sana. Itu terus isi cerita saya pada kawan lama.

"Ya iyalah,tak mungkin pakai standar yang dulu,ukh. Kondisinya beda. Harus adaptasi." Kata seorang kawan.

"ya, jangan pakai standar ganda donk. Dimanapun kita, amalannya harus tetap sama," kata seorang kawan lain.

Sungguh, belum selesai. Entah kapan selesai. Dan saya bingung cara menyelesaikan tulisan ini. Tinggal dibubuhi titik, selesai.

0 komentar:

Mama di Mata Nana

Bang, sini Nana kasih tahu, bagaimana pernah ada satu hari, ketika Nana merasa sangat hancur. Lalu gumaman itu ada, gumaman rindu untuknya, Mama kita. Mungkinkah kau mengerti. Atau pernah kau rasai sendiri. Maka kisah ini akan kubagi, teruntuk seorang wanita luar biasa yang telah membuat kita mendewasa. Seorang Mama yang menangis luka saat kau tak sama dengan harapnya. Bukan marah, atau kecewa. Tapi luka karena merasa beliaulah yang salah. Saat tak jadi mengantarkanmu ke sekolah itu dan menyaksikan bagaimana kau sekarang. Dia begitu mencintaimu. Mencintai kita, maka bahagiakanlah Mama.

......................................................................................
 
Aku ingin ada di situ, di samping ibuku. Lalu mengadu. Mengadu sepuasnya. Tentang apa yang ku tangisi. Tentang apa yang ku sesali. Tentang apa yang ku tulisi.. Lalu ku ingat dia menatap tangisanku. Membelai dan mengusap air mataku. Mengecup, menghirup luka yang tersimpan di sana. Aku yang luka dan tak mau sembuh dibujuknya :

“Cerita hidup kita sesungguhnya telah selesai. Telah selesai di sisiNya dan kita tinggal menjalaninya. Menerima.”


Semakin menyembur luka-luka. Meraung-raung pilu. Dia lalu diam mendengarkan kesakitanku.. Kuceritakan arti sakit bagiku.. Kuberitahu mimpi yang hancur karena kebodohanku. Walau dia lebih tahu, lebih tahu arti kecewaku. Arti kesedihanku. Tahu lebih dari aku. Aku pikir aku ingin pulang.

Ku tanya, mengapa aku harus begitu kecewa ?
dia diam saja, tersenyum. Mengusap air mataku, dan matanya memerah juga..........................................................................


Mama. Adalah alasan kenapa kita ada. Alasan Nana bisa mengenal air mata dan memaknainya.

dari anakmu yang hampir tak pernah mengucapkan selamat hari ibu. Hampir tidak pernah, mungkin cuma 3 kali seumur hidup, itupun satu kalinya telat seminggu.

Widya yang juga selama 3 tahun di asrama juga selalu lupa hari ulang tahun Mama T.T
Widya justru selalu bilang selamat ke Mama setiap Widya ulang tahun. Judulnya selalu sama. "Kado ulang tahun untuk ibuku di hari ulang tahunku."

Widya sayang Mama. Selamat ulang tahun, Ma

0 komentar:

Ditulis Untuk Abang Nif Sayang

Sahur pertama.
"Pa,mohon maaf lahir batin ya Pa". Nyaris seperti biasa, Papa akan menjawab datar, seperlunya, setelah itu kami seperti bingung akan saling bilang apa.

Telepon beralih ke si abang. "Maaf lahir batin ya,Bang." Dia menjawab dengan dua kata 'he eh'. Itupun dicampur ngantuk :)

Lalu si Aiyah shalihah yang baru naik ke kelas enam, dia duluan yang bilang : "Nana, maafan Isya yo Na." Tentu, sayang.

si bungsu Huda masih tidur, lalu yang terakhir adalah Mama.
"Mama,Nana mohon maaf lahir batin ya Ma."
jawaban Mama yang sukses membuat mata saya berair.. -sama sama Nak. Mama juga minta maaf. Kesalahan yang Mama sengaja atau yang tidak.-

Mungkin terdengar klise tapi begitu tulus. Sampai ingin menangis dan bilang, "Widya yang lebih banyak salah Ma."
-Belum tentu begitu. Mama lah yang paling banyak salah. Maaf ya Nak-

setelah itu benar-benar meleleh.

0 komentar:

Lebih Indah

Mungkin sering kulantunkan, bahwa aku mencintaimu karenaNya. Kutulis di atas kertas, atau kuselipkan dalam pesan singkatku padamu, atau kubiarkan hanya hatiku yang berucap.

Hmmm, aku benar-benar pernah menangis karena merindukanmu. Aku benar-benar pernah tersenyum mengingat satu dua episode kita. Aku benar-benar pernah sangat ingin meneleponmu. Aku benar-benar tak tahan ingin bertemu denganmu. Aku benar-benar pernah sesenggukan karena tak rela berpisah denganmu. Benar-benar pernah tak mau melepaskan pelukan atau rangkulanmu lebih dulu.

Percayakah kau dengan semua yang kuucapkan? Sakit sekali rasanya saat satu kali dua kali kita berbeda pendapat sampai harus agak bersitegang. Saat terdorong nafsu untuk mengatakan siapa di antara kita yang lebih baik. Aku benar dan kau salah.

Dan kubiarkan egoku menyakitimu. Kubiarkan saja.
Ternyata, walau berkali-kali kukatakan mencintaimu, tak ada tanda-tandanya dalam akhlakku. Aku yang jahat padamu. Aku yang senang mengacuhkanmu. Aku yang gembira bisa mengabaikanmu.

Saat kupikir aku sudah terlalu jauh menyimpang, aku hanya butuh mengingatmu. Mengingat sudah sejauh apa kau berjalan dan aku masih betah berdiam. Atau mengingat bagaimana kita di jalan ini. Saat bisa menangis bersama entah karena apa. Saat suatu hari di pangkuanmu aku benar-benar sesenggukan, tak bisa ditahan. Terlalu jauh saat itu jalan ini kutinggalkan.

saat rindu itu sungguh membelenggu.

-mungkin ada satu dua kau merasa apa yang kutuliskan tak pernah kita lalui bersama. Itu karena memang apa yang pernah menjadi kenyataan di antara kita jauh lebih indah dari yang kutuliskan. Jauh lebih indah.-

0 komentar:

Telepon Pagi

Hmmm, ini tentang perbincangan via telepon kita lagi. Ketika kembali memaknai apa-apa yang patut disyukuri. Semuanya. Keberadaan di sini, orang-orang yang kita kenali dan beberapa di antaranya begitu menginspirasi. Dan cara ini hampir selalu berhasil, menelepon seseorang itu untuk mengingatkan semangat yang aku hampir tak ingat. Seketika, semangat lagi. Selalu berhasil.

"Nana bersyukur ada di sini, Di. Padahal sedikitpun dulu tak pernah terbersit pikiran kuliah di tempat ini."
Menghitung-hitung nikmatNya yang tak pernah berhenti. Ah, tiba-tiba malu sendiri, bahwa dengan melimpah ruahnya nikmat itu harusnya kita sudah terbang tinggi.

Tak perlu terseok. Menangisi diri yang seolah tak pernah mau berhenti menjadi seorang pendosa, ingin sekali bercerita padamu. Pada sangka baikmu yang selalu bilang aku ini begini dan begitu. Sifat positif yang kau lekatkan dan sematkan dalam diriku. Haruskah ku ceritakan padamu, bahwa sebenarnya tak ada orang yang lebih buruk dari aku. Tak ada yang lebih buruk dari aku. Tak ada yang lebih buruk dari aku. Tapi aku terlampau pandai menipumu untuk terlihat baik, sangat baik.


Kali ini buka tentang perubahan-perubahan teman kita lagi, ini hanya tentang aku dan kalimat-kalimatmu tadi yang sengaja dipersiapkan takdir agar aku menginsyafi banyak hal, jazakillah..

0 komentar:

Bukan Sugesti

Tak akan ada yang mampu menyakitimu jika kau tak mengizinkan dirimu disakiti. Dan tak akan ada yang mampu meruntuhkan keteguhanmu jika kau sendiri tak mau runtuh. Pun tak ada yang bisa merubuhkan semangatmu jika kau sungguh membangunnya. Hingga kulihat iblis pun lelah menggangguku, dia mulai ragu untuk mengggelincirkan aku. Karena kau tahu makhluk la'natullah,, aku ini muslimah tangguh yang tak akan lumpuh. Teguh, kokoh, dan terus bertumbuh. Tak akan keluh hanya karena peluh.

Tak akan terlena karena titipan nikmatmu. Tak akan larut dalam ujian kesedihan.

0 komentar:

Menyahabatimu

Dan tak bisa mengelak bahwa kini kita terperangkap dalam masa dan tempat yang tak lagi sama. Menghadapi peristiwa berbeda yang tak henti menerpa dan menempa. Memaksa kita, yang perlahan beranjak tua,menjelang berkepala dua, haruslah memiliki cara pandang seorang yang dewasa.

Berbincang denganmu, seperti apa aku mengisahkannya. Mengulang lagi apa yg pernah kita temui bersama. Indah menyejarah dan tak akan terulang. Seragam putih abu-abu dan juga batik biru telah berlalu.

Kita yang sekarang dan kita yang dulu. Pasti ada yang berubah, banyak malah. Lalu ku ulang bagaimana aku menemanimu membeli jilbab, bagaimana kita berjalan di lorong menuju kelas dengan mata berkaca-kaca melihat kakak kelas yang luka. Membaca buku Asma Nadia bersama.

Percayalah, di atas segalanya aku dititipi banyak hikmah oleh Allah karena menyahabatimu. Menjadi saksi mimpi-mimpimu, menatap doamu dengan tangan yang menampung rahmatNya dengan mata begitu redup, aku terenyuh, kau berharap padaNya dengan suara yang lembut, penuh harap dan juga rasa takut. Cemburu pada juz 30 mu itu yang agak sedikit mnghinaku (hhhehe), belajar cara shalat dengan segenap jiwa. Darimu, itu semua darimu.

Maka saling menelisik hati, apakah itu semua masih setia terjaga dalam diri kita? Atau justru banyak rasa yang sudah tercerabut dari hati? Tergerus oleh aktivitas lagha.

Aku yakin, kau bisa menuntaskan kalau hanya sekedar juz x itu. Ayo bersemangat menyelesaikannya, hanya butuh segenggam kesungguhan :)

ah benar, kau memang dewasa. Menatap kita berdua terjebak dalam pigura kuning di sebelah tempat tidurku. Tiba-tiba, ingat lagi pada orang yang memaksa kita foto saat itu. Sangat ingin berterima kasih padanya :')

menutup telepon tadi, serasa kembali ke alam nyata. Diseret realita,tentang hidup yang terus berdinamika. Selesai, tamasya dan rihlah ke masa lalu saat menyandang status sebagai anak asrama,,bersama seorang kawan yang istimewa

0 komentar:

Kangen

"tentang mataku yang nyaris tak pernah beradu dengan matamu, karena belum sedetikpun kau sudah berpaling.."

aku tahu, selamanya mungkin kau tak akan pernah membaca tulisanku  ini.Betapa, betapa sudah sangat jauh persahabatan kita. Terlalu jauh,ukh. Dan aku rindu.

diam mu, terlalu sulit mengartikannya. Lalu aku bertanya, kau jawab dengan air mata. Aku harus teriak-teriak lagi agar kau bersuara? Kenapa, apa.

Jangan berpaling. Karena pernah kau katakan, kau lah yang paling luka di antara kita.Tak ada yang luka. Tak ada yang luka. Tak rindukah kau padaku?

..dan aku rindu. Dan kalaupun kau baca ini, pasti kau pikiri bukan untukmu. Maka ku katakan padamu, ini memang untukmu. Ini memang untukmu. Ini memang untukmu. Jawab aku. kecuali selamanya kau mengaku tak melihat ini dan tak memahami bahasaku. dan aku rindu.

0 komentar:

Aku Padamu

aku di matamu, dan kau di mataku.. Sungguh aku ingin berkisah tentang ukhuwah denganmu. Tentang tatapku, tentang ucapku, tentang celetukanku. Lalu bagaimana kau menyikapinya..memakluminya..dan akhirnya aku merasai tak enak sendiri. Dan sejujurnya, aku kurang suka begini.

Ah tidak, tidak sepenuhnya begitu juga. Kau mencintaiku dan aku sangat mencintaimu :)
percayalah, aku sangat mencintaimu. Walau tak terlihat begitu. Dan ini bukan tentang tatapku, tapi tatapan kita. Juga bukan tentang ucapku, tapi tentang perbincangan kita.

Bagaimana aku belajar dari kalian yang teramat amat sangat dalam menjaga perasaan, setidaknya itu yang kurasakan. Tentang aku yang senang berterus terang, dan kalian yang senang mendiamkan.

sungguhkah demikian? mungkin aku perlu bertanya pada bulan.. karena malam ini langit memang mengagumkan.

..terima kasih, membuatku menyediakan ruangan baru dalam biliik hati. Untuk kita, memenuhinya dengan kisah dan cerita beberapa waktu ke depan. Mungkin iman ku yangtak layak hari ini, rasanya banyak yang kurang. Dan aku sangat yakin, tersedia sebongkah kepemaafan.

Aku sayang kalian, kawan
TT.TT

maaf kalau kurang jelas,,

0 komentar:

Dialog Dua Sahabat

1. ukh,menurut saya... perlahan saya berjalan mundur. Dan saya melakukannya dengan "penuh kesadaran"

2. Jika sadar berjalan mundur,,,apa mau terus-terusan mundur ? Kalau anti sudah mundur terlalu jauh, tak ada kereta yg akan membawa anti. Mau tertinggal sendiri ?

"semoga Allah mengampuniku"

1. Saya memang sudah tertinggal sendiri. Karena memang sudah terlalu jauh & kereta telah berangkat T_T

2. Oh berarti udah lama banget di tempat itu ya,ukh? Udah seberapa besar usaha anti untuk berjalan tanpa kereta? Atau anti udah terlalu nyaman di tempat itu hingga anti enggan untuk bangkit.

1. Mungkin saja ku bukan yg dulu lagi

2. Ya memang tak akan sama seperti dulu. Usahanya harus lebih diperbesar. Jangan pake strategi yg dulu. Ga mempan!

1. Sahabatku,
maka dengan kebeningan hatimu,,
dengan kejernihan pikirmu,, berikanlah nasihat terbaikmu untukku. Untuk sahabatmu yg terus kebingungan di tengah benderang cahayaNya.

2. Menatap wajah Allah, berkumpul dengan Rasulullah, berkumpul dengan para sahabat, berkumpul bersama di jannahNya,, tentu tidak dengan keimanan dan ketaatan yg compang camping. Mari sama-sama memperbaiki diri ^_^

---dan bening di matanya yang jatuh perlahan dan dia sembunyikan. Jazakillah ukhtiku sayang---

0 komentar:

La Tahzan

Dari keterasingan agama ini bermula, dan kepada keterasingan ia kembali..

Nikah tanpa pacaran, jilbab yang lebar berkibar, bahkan mencita-citakan kematian.

Fanatik, ekstrim, atau apapun..

Kita terlampau asing. Saking asingnya,,mereka geleng-geleng kepala menyaksikan perangkat agama ini, agamanya sendiri yg mencengangkan.

Mendapati kesangsian, penentangan, dan perlawanan. Atau juga simpati, kekaguman, dan pujian yang hanya sebatas itu. Salut tanpa dukungan. Kesemuanya terasa bagai menggenggam bara di telapak tangan.

Dan kita berjalan,melangkah dengan kesedihan yang sungguh.. Seorang sahabat berbisik, "la tahzan, allah beserta kita."
dengan bening yang bergulir di pipinya.

Allah pasti telah menghitung air mata itu.

(Allah, Engkau dekat. Penuh kasih sayang. Tiada pernah Kau biarkan hambaMu menangis)-Opick

-comot sana sini dari buku Jalan Cinta Para Pejuang & Saksikan bahwa Aku Seorang MUSLIM)

0 komentar:

Ma'shiat

ba'da magrib ini seorang kawan menceritakn isi sms temannya yang kurang lebih begini : "seorang pemimpin itu jauh dari ma'shiat dan saya belum"


saya jadi ingat,,dulu saya sempat bertanya pada seorang kakak :

"kak,widya ngerasa kalau ma'shiat itu jauuuh banget. Ma'shiat itu dalam bayangan widya seperti membunuh,maling,dll."

kata beliau, "ghibah adalah ma'shiat dek. Suuzhan pun.. Lalai shalat pun. Tidak QL bahkan untuk yg seharusnya sudah sampai pemahamnnya. Tidur setelah shubuh juga sudah tak layak bagi kita.. Dan semuanya adalah ma'shiat"

kakak itu tersenyum.. Dan berujar, "kakak juga belum."

selebihnya kami hening

0 komentar:

Gulai Baga

Ini tentang beliau.. yang sekiranya sudah menangis berarti sudah terlampau marah. dan itu sangat jarang. Hampir tak pernah malah.. tak akan ada tangis pecah jika hanya "sekedar marah", kecuali ditambahi kekecewaan..

ternyata, menyakiti itu memang mudah sekali. bahkan pada seorang yang paling dikasihi. Seperti pagi ini, dengan riang menceritakan kesibukan di kampus yang menyenangkan. Ukuwah dan mahabbah bersama para kawan-kawan. Sampai beliau menanyakan : baa gulai baga patang nak? Lai lamak lai kan??

dengan riang pun menjawab, "belum dimakan, Ma. Kan sibuk belakangan ini Ma."

setelah itu, aku masih ingin menceritakan banyak hal. Merasa tak ada yang salah. Sampai-sampai tak menyadari suara beliau mulai berubah dan ingin menyudahi:

"nanti Mama ulang lagi ya,, Mama mau ke belakang dulu."
suara yang aku yakin bercampur dengan tangis... Dan aku terbungkam..

mungkin dalam hati : ternyata begini jadinya, Nak. Dimasakkan hari Selasa Pagi. Dan Sabtu pagi belum kau makan??

Urutan dada. Luka dan air mata. Bercampur kecewa.
Aku terlalu pandai melupakannya.. gulai baga.. T.T

0 komentar:

Cemburu

"karena tak bisa, tak akan pernah bisa,,
ada 2 cinta dalam 1 rongga.
Cukup kau pilih : ridha-Nya atau sekedar hawa"

kata seorang kawan, barangkali kita akan cemburu pada seorang pemuda yang buruk masa lalunya. Sedang kita menjaga diri kita. Barangkali ada benarnya, atau justru banyak salahnya.

...dan saat aku merenungi kata-kata kawan itu, ada yang rasanya sudah lama kulupa: betapa Dia Maha Cemburu. Sang Maha Cinta.

"kau hanya butuh membaikkan dirimu, ukh. Dia tak pernah salah memilihkannya untukmu."

obrolan hari ini dengan 2 kawan berbeda.. Terimakasih untuk apa yang tanpa kalian sadari, amat sangat mengilhami..

0 komentar:

Seorang Kawan

"Nana,, ana gak akan nelpon nana kalau belum selesai juz x...." kata seorang kawan dalam smsnya sekitar 2 minggu lalu.

Kawan yang sangat amat saya rindukan. Rindu mencuci baju di KMB bersamanya, rindu menyimak bacaannya atau disimak olehnya..Rindu berkisah dengannya di Mishbahul Ulum kami. Rindu bertubi-tubi.

Kawan yang saat (akhirnya) tadi saya telepon dan dia bilang : "sebenarnya ana udah mau banget nelpon nana sejak kemarin-kemarin, tapi belum selesai juga juz X nya..."

Rindu dengan senyumnya yang tulus, bercerita lepas tentang apa saja padanya.
rindu rindu.. Betapa ingin sekali berjumpa dengan dia, menjabat tangannya lalu memeluk erat selekat-lekatnya..

Rindu, rindu..
Rindu, dan dia bilang : "ukh, nanti pengen banget denger nana bilang kalau nana cuma tinggal 3 lagi, tinggal 2 lagi..

Rindu yang tak sudah-sudah pada ajakan kebaikannya, dan jazahallah untuk semangat yang meruah membuncah berlimpah-limpah setiap menelponnya. Energi yang sukses ditularkannya.

akhirnya syukur padaMu untuk anugerah saudari sebaik itu..

Ukh, aku rindu surau itu.. T.T

0 komentar:

Keluarga

Saat rindu itu benar-benar membelenggu..
Aku ingin ada di sana, tempat yang menerima diriku utuh sebagai aku...

0 komentar:

Matanya Semerah Saga

Pernahkah diacuhkah seseorang yang kita sayang? Kalau ketemu dia gak negur kita, rasanya seperti tak dianggap. Jadi bertanya-tanya, sebenarnya bagaimana posisi saya di sisinya. Lalu bagaimana jika yang tak pernah menegur itu adalah Dia?
Adalah hari kedua UTS kemarin: di tengah genangan air mata seorang sahabat dan sesal yang meliputi hatinya. Mudah-mudahan saya tak salah mengambil hikmah.

awalnya cuma ngobrol biasa, sampai saya bilang :
"Jangan-jangan kamu cuma cari pembenaran! Merasa film-film itu bisa bikin kamu nyambung sama teman-teman padahal itu cuma modus dari kelalaianmu sendiri..!!!!!!" saya menghantamnya dengan kata-kata menghujam dan nada bicara menyalahkan. Tak suka dengan dia yang suka Korea.

Biasanya dia hanya senyum meladeni saya yang selalu emosi kalau tak suka sesuatu. Tapi kemarin itu, setelah menerima kata-kata saya itu, ada kaca di matanya, bening yang mau pecah. Berkeping-keping. Allah, dia menangis, dengan tangis yang tak bisa habis.

-aku udah ditampar, wid. Laptopku hilang, memang gak berkah. Aku takut, Wid. Aku malu.-

dan mengalirlah semua yang selama ini dia tahan di hatinya. Cerita kehilangan sekitar sebulan lalu. Sakit bukan karena kehilangan itu sendiri tapi lebih karena dilumatkan rasa bersalah atas tak berkahnya barang itu sampai harus diambil paksa, dilenyapkanNya.

-mungkin memang harus begini caranya, karena teguran halus udah gak mempan. Aku harus dihantam, ditampar biar sadar. Apa aku udah terlalu kebal dengan teguran lembutNya-



saya melihat luka di matanya yang semerah saga. Dan setiap dia menceritakan sisi kelam dirinya saya terbayang sisi hitam diri saya. Allah pun tengah "menampar" saya dengan kisahnya.

*maka bersyukurlah bahwa Dia masih menegur. Dan takutlah saat kita merasa semua baik-baik saja, bisa jadi itu petaka karena Dia tak lagi peduli pada kita. Membiarkan kita menikmati setiap kemaksiatan dan dosa..*

0 komentar:

Papa Yang Dulu Selalu Nganterin

Menatap punggung laki-laki itu pergi. Dan beliau meninggalkan tangis, tangis di mataku. Tentang hidup yang tak sempurna. Atau terlampau sempurna.

Laki-laki yang suatu Shubuh mengantarkan ku berangkat didikan Shubuh. Kami berjalan berdua karena motor rusak. Laki-laki yang terus setia menunggui aku mengaji, belajar tajwid. Sejak kelas 5 sampai kelas 3 SMP. Hal yang ku banggakan jika ada yang bertanya, dimana aku belajar tajwid dulu? "Papa yang dulu selalu nganterin."

Allah, aku kurang bersyukur apa jika aku kecewa. Saat dia mengunjungi ku hari ini, dan aku berkata : "Masuk yuk Pa, tapi itu dimatiin dulu.."

Tertegun, dan segera mengangguk : "iya, ini dibuang.."

Aku tak ingin siapa pun yang sempat membaca ini mengerti apa yang kutuliskan. Saat satu satu air mata itu luruh di wajahku, yang ada hanya kepedihan mengingat percakapan-percakapan terakhir kami barusan. Perbedaan lagi, perbedaan di antara kami.. Maka lembutkan hati nya ya Allah, atau hatiku yang batu.. Demi kebaikan-kebaikan dan jasa-jasanya untukku, bantulah beliau dalam banyak kebaikan.Demi mendiamkan aku 2 minggu, demi membangunkan aku shalat Shubuh dulu. Demi menyimak hapalanku. Demi nafkah yang selalu ikhlas dia berikan. Demi harapannya untukku. Demi adzan yang dikumandangkan pada pendengaranku. Demi apapun, ya Allah. Bantulah beliau terus dalam kebaikan.

Suatu hari dengan tangis laki-laki nya yang mahal, Papa bertanya : "Widya kecewa sama Papa?"
Lalu kami terisak..Ketidaksempurnaan : saat bahagia dan kecewa itu berbaur di hatiku.
Terima kasih untuk hidup yang tak sempurna,, atau terlampau sempurna.. Aku sedang menuliskan kisahku....

0 komentar:

Nafidz, Maafin Widya Ya...

Anggaplah widya mengatakan itu dengan nada yang ada di iklan. Jika widya merusak malam minggu anti dengan muka yang masam. Afwan jiddan ya ukh, widya gak marah dan anti gak perlu minta maaf. Karena begitulah Widya: keras hati.

Maafin widya ya Naf :)

0 komentar:

Ditenggelamkan

-dan dosanya telah menenggelamkannya- Al Baqarah : 81

Sekiranya boleh memilih, saya ingin tetap ada di sana. Tempat pertama yang menghadirkan nuansa berbeda di hati saya. Betapa saya merasa sangat kacau di sini. Apa saya menyalahkan keadaan ?

Sekiranya Pak Son, uni Kiki, uni Tuti, ustadz Idris melihat saya sekarang.. Mereka mungkin kecewa.
Sekiranya saya tak harus terlempar dalam kehidupan yang begitu hiruk seperti ini..

Iya, saya tahu saya terus-terusan mengeluh..

Di tempat yang penuh ranjau ini, saya seharusnya bersyukur. Ada bentangan ladangan amal yang begitu luas jika saya ikhlas.

Keikhlasan justru saat kita berat menjalaninya (ustadz Masturi)

Mudah-mudahan memang begitu, mudah-mudahan jatuh bangun saya tak berakhir dengan kesia-siaan,, jangan cabut hidayah Mu karena tak pandainya hamba

0 komentar:

Laki-Laki Istimewaku

Aku sedang ingin bercerita tentang cinta, cintaku padamu. Seorang laki-laki dengan tubuh kekar,  dia seorang atlet basket. Ya, kau sungguh gagah.

Laki-laki yang saat kau memboncengku, akan menghembuskan cemburu di antara mereka yang melihat kita. Jika yang melihat seorang pemuda, maka ia mencemburui yang memboncengku (narsis). Jika yang melihat kami pemudi, cemburunya untukku.

Padahal alangkah tak pantas cemburu itu bagi mereka. Karena apa? Karena engkau adikku. Karena engkau adikku. Iya, engkau adikku :’)

Pernahkah ku ceritakan bagaimana hatiku padamu? Pernahkah kusampaikan cintaku padamu? Tentang gumaman yang bersenandung dalam diriku tentang kita berdua. Aku memang tak akan pernah mengungkapkannya karena aku ingin kau menangkap isyaratnya.

Air mata yang tumpah saat tau kau kini sudah begitu berbeda. Terlalu lama kah kita tak bersua? Terlalu sakitkah saat kau dibandingkan dengan kakakmu? Padahal aku iri padamu. Pada telur dadarmu, pada kerupukmu, atau nasi gorengmu yang enak. Kau melakukannya jauh lebih baik dariku. Ledekan nasi gorengku yang asin, tak habis-habis tertawamu. Senang sekali mencandaiku.

Aku yang kalah dalam lomba badminton kita. Kau lelah menanti cock yang terus jatuh di hadapanku. Atau aku yang bosan menatapmu berlaga dalam permainan catur bersama papa. Tak bisa ku mengerti bagaimana caranya walau tak terhitung banyaknya kau jelaskan. Aku yang baru bisa bersepeda saat kelas lima. Aku yang membuat papa jera mengajari naik motor. Payah.

Tersenyum-senyum haru membayangkan bayangan kenangan kita. Enam tahun hanya kita berdua di antara Mama Papa.. Lalu aku meninggalkanmu sejak SMA. Apa saja yang kau lalui? Ceritakan padaku. Selelah apa hatimu? Sesakit apa rasanya?? Kenapa semua terasa berbeda. Jangan tersenyum saja ku tanya. Kenapa kau tak lagi sama?

Bagaimana Hanif yang mengimami lomba shalat jenazah dulu? Hanif kecil yang lucu bersama Widya kecil yang lugu, aku rindu. Sungguh aku rindu. Sering-sering meneleponku, sering-seringlah mengirimkan pesan. Walau sempat ku abaikan, maafkan. Aku menyesali ketidak-pedulianku.

Sambut tawaran Mama yang akan menghargai setiap ayat yang kau hapalkan dengan tambahan uang saku ^_^

Ini tentang seorang laki-laki yang punya ruang istimewa di hati, raihlah masa depanmu.. Hanifku :’)
(Gak bisa nana lanjutin karena jam efektif di RuQun, nana sekarang ada di rumah Quran. Ayo jangan mau kalah :p)kapan-kapan kutuliskan lagi "sesuatu" untukmu, pasti kau tak akan saabr menunggu :p

0 komentar:

Yang Terakhir

Tadi, seorang kawan bercerita, suara yang kental dengan rasa sesal. Saya dibanding dia, mungkin tak ada apa-apanya. Seorang Widya yang kalian pasti tahu banyak aibnya. Maka lembar catatan ini bukanlah curhat tanpa makna. Anggaplah ini permintaan maaf, sungguh ini permintaan maaf.

"Saat kita mencela orang lain karena kesalahannya maka tunggu saja kita akan diuji dengan ujian serupa. Dan ternyata kita pun tak sanggup menaklukkannya. Jadilah seorang pesakitan yang tak henti menyesali dirinya."

Maka maafkan saya, karena saya kini tengah terombang-ambing dalam masalah ini disebabkan kesalahan saya pada semua. Dan rasanya penat luar biasa, hampir satu setengah tahun ini mendiamkannya. Menguatkan diri dan berkata bahwa semua baik-baik saja.

Maka sekali lagi, maafkanlah saya, saya sudah merasakan efek kesalahan ini. Betapa meluluh-lantakkan sebuah kesalahan yang mampu menghancurkan kesungguhan. Hingga saat ini saya tak lagi kenal arti "mujahadah" karena sudah bermilyar kali tak sukses memenangkan ketaatan dalam setiap potensi fujur dan taqwa yang Allah berikan.

Maka sekali lagi maafkanlah saya.. Maaf. Untuk yang ini,, berharap ini yang terakhir. Perkenankanlah kiranya.

0 komentar:

Kita dan Siapa Saja

Menyaksikan gerak dan gelakmu yang sulit sekali ku cari tau apa maknanya. Walau, berkali-kali walau, sepintas lalu kita terlihat sama, ternyata kita berbeda. Aku tidak menudingmu, juga tak ingin mengatakan siapa di antara kita yang paling mendekati kebenaran. Hanya ingin sekali, dengan susah payah mengatakan pada hati, bahwa aku dan kau tak boleh goyah lagi. Dan aku yakin, untaian tulisan ini tak akan sulit kau pahami.

Beda itu artinya tidak sama. Sama itu berarti tak berbeda. Tapi kita punya keduanya.

Aku sudah lama berputar-putar dalam tanya. Dan sepertinya tak akan ada jawabnya. Kau tahu kenapa? Karena dari dulu, sejak pertama, kau tak pernah jujur bercerita. Bercerita tentang rasa berdosa yang kau tabrak seenaknya. Jadilah sekerat hati itu tak lagi peka. Menangisi kesalahanku, menyesali kekhilafanmu, kita pernah merenunginya. Dan tatapku bertemu dengan mata mu yang masih betah berdusta.

Barangkali aku akan setia, setia menanti saat kau lelah berkelana dan akhirnya kembali. Dalam serpihan rasa bersalah yang jujur. Bahwa tak boleh terlupa, kita telah dimuliakan dan sepatutnya bersikap mulia.

Bergumul dengan kebingunganmu, tentang haq dan bathil, sedang kau ada di antara keduanya. Kau pasti akan menyerah karena lelah. Pun aku pernah merasakan"nya". Kita lihat saja..

0 komentar:

Kita Berdua Tinggal di eM_yU

Menerima telepon dari sahabat yang satu itu selalu membuat semangat membuncah. mendiskusikan banyak hal, tentang masing-masing kita yang berdinamika. Dan membuat kita punya makna yang hanya bisa dicerna jiwa dan rasa yang terjaga.

Dan perubahan adalah niscaya, tak ada yang selamanya. Kita dengan hidup kita dan begitu pun mereka. Masing-masing memilih.. Atau dipilih kehendakNya.. :)

Kadang-kadang pusing kepala menganalisis perubahan si anu, si ani, si itu. Lalu kita terbahak saja saat diskusi kita sudah terlalu rumit dan membuat kening berkernyit. Tinggal selemah-lemah iman usaha terakhir untuk saling menjaga, yaitu doa. Semoga mereka baik-baik saja.

dan tentu saja ada malaikat yang mengaminkannya sekaligus berdoa untuk kita.. Semoga aku, aku, kau, dan kau pun baik-baik saja. Dijaga oleh Sebaik-baik Penjaga.

Kalau sudah begini, apa lagi yang perlu kita analisis. Serahkan saja padaNya. Tapi tak kapok-kapok kau meneleponku lagi, atau aku yang menelepon, dan membahas hal yang lagi-lagi sama :D

Kecewa kita pada mereka, mungkin karena kita juga yang tak peka. Dan nanti harap kita bertemu dalam doa, untukku, untukmu, dan untuk yang tersayang sahabat kita.. Agar surga memang merindukan kita dan bersua lagi di sana.

0 komentar:

Khianat

Sungguh, aku sedang berkhianat. Dan pengkhianatan itu memanggil pengkhianatan lainnya. Satu hal saja yg kukhianati, maka berantakan seluruh janji. Dan hati ini bukannya tak menyadari.

Tragis sekali,terlalu ironi. Sebuah pengkhianatan yg mengajak pengkhianatan-pengkhianatan berikutnya. Bahkan yg dikhianati adalah hati. Dan aku mungkin sedang bermusuhan dg nurani. Diiringi tawa iblis keji. Sayang, aku berkawankan nasehat2 nya belakangan ini.

Ini catatan seorang aku yg ingin berbaikan dg hati,dan ingin berkawan lg bersama nurani. Jadilah taubat ini abadi dan terpatri.

0 komentar:

Tidak Ada

Ini mungkin hanya masalah klasik. Tapi biarlah.

"cukup mencintai orang-orang yg sudah halal punggung tangannya buat kita. Orang yg menyebut nama kita dalam ijab kabulnya"

Iya uni, aku tak sanggup menahan air mata. Walau nasihat serupa sudah sering dikumandangkan dan diperdengarkan pd telinga ini, tetap saja kata-kata uni itu menghujam.

"Al Quran itu 30 juz yg harus dijaga, kapan mau selesainya? Qiyamul Lail apa juga sudah jadi kebutuhan? Kalau hatinya bermasalah, jangan heran QL nya bermasalah. Sudah ngerti kan,wid?"

Ah, pertanyaan itu. Aku kelu.

Tak lama, lalu bersalaman pamit dg mata yg masih kaca. Dan sekokoh janji di jiwa..

"Setelah ini, janji itu harus ada pembuktiannya"

Menyentak jiwa. Uni yg tegas, lugas, dan apa adanya. Tp solutif sangat.

Kebaikan uni itu adalah anugerah Allah yg ku syukuri..nikmat Allah yg tak mungkin kupungkiri.

KaruniaMu yg mana yg kudustakan? Amalku yg mana yg bisa kubanggakan?

Tidak ada.

0 komentar:

Ketoprak

WARNING !!!

Membaca tulisan ini, mungkin membuat saya terkesan lebay. Saya yang sedang melankolis menjelang pulang ini. Jadi ingat sesosok laki-laki yang kupanggil Papa atau lebih sering kusebut Apa. Orang yang pernah memarahi anak gadisnya dan mendiamkannya seminggu karena sesuatu. Haruslah anak gadis punya malu, katanya dulu. Dan itu, mengenang didiamkan seminggu itu yang membuat mata berlinang setiap kali merasa melonggar.

Dia, orang yang suatu pagi saat saya sarapan berkuahkan air mata, diminumnya air mata itu. Benar-benar meminumnya, menghirup, menghisap. Sampai habis katanya. Sampai tak keluar lagi, katanya. Adegan paling mengharukan seumur hidup.

Dan entah dimana korelasinya, Bapak ketoprak tadi, membangkitkan kenangan masa kecil itu. Haru, biru, dan menggetarkan rindu. Dan membangkitkan seribu tekad untuk menggenapkan persembahan kalbu. Untuk Apa.

Ya, kadang, kita menyukai seseorang tanpa perlu alasan. Menyukai tanpa bisa menjelaskan. Bahkan hanya dengan sekali tatapan. Melihat gerak-geriknya yang langsung menggerakkan.

Seperti pagi ini, saya dipesona oleh kharisma seorang bapak yang berjualan ketoprak.  Beliau datang di saat momentum yang tepat. Sejam dua jam duduk di depan rumah, menyaksikan banyak bapak-bapak menjajakan dagangan.Berteriak mempromosikan : yam ayam...
Atau “buray...buuuray...”
Atau memakai suara bantu nyanyian : “susu murni nasional...”

Walau sebelumnya sudah sering dengar suara-suara itu dan sudah tidak asing, tapi sepagi tadi suara-suara itu terdengar lebih merdu dari biasanya.

-suara ayah mencari rezeki, bagai nyanyian syurgawi-

Dan benar, bapak ketoprak itu datang dengan momentum yang tepat. Saya sedang bermain dengan khayalan bersama keagungan sosok seorang ayah, beliau sedang dengan sigap menyiapkan sepiring ketoprak. Dan setiap geraknya saya pikir diridhai malaikat.

Jadilah saya beli ketopraknya, dan menghimbau teman-teman yang gak shaum untuk beli juga.. Dan kita sarapan ketoprak bapak yang saya suka pada detik kedua memandangnya, saya rasa. Dan saat ditanya kenapa begitu semangat mempromosikan beliau, saya pun bingung menjawabnya.

*kangen Apa*

0 komentar:

Kau Jahat Sekali

Pernahkah kawanku, dalam hidupmu, sekali saja,, sekali saja merencanakan kebaikan untuk temanmu. Berbahagia untuk kebahagiaannya. Terpukul untuk pilu di hatinya. Menyelami lautan rasa yang dia punya, dan menopang hatinya bahwa dia tidak hanya sendiri.

Atau selama ini, kau memang tak pernah begitu. Tak ingin orang lain lebih darimu, atau menyamaimu. Bahkan kepada sahabat terdekatmu sendiri. Resah sekali hatimu jika dia berhasil. Sempit dadamu melihat senyumnya. Kalau begitu, berarti kau jahat sekali.

Juga selalu mencemburui keakraban sahabatmu. Resah melihatnya dekat dengan yang lain, tidak denganmu. Kenapa kau jahat sekali, ayo tanya hatimu. Kenapa jahat sekali?

Dan ketika kau punya mimpi, kau laksanakan mimpimu dengan merusak mimpi orang lain, itu jahat sekali.

Setelah kesal, berbisik pada diri sendiri ::
Silakan menginsyafi, setiap orang punya keinginan. Setiap orang punya impian. Setiap orang ingin menjadi yang terbaik. Sampai tak bisa lagi menjaga hati karibnya. Dan jangan berubah, tetaplah merencanakan kebaikan untuk orang lain. Walau mereka tak pernah mengembalikan apa-apa untukmu.

0 komentar:

Tumpul

Aku, kamu. Kita bukan orang yang sama. Lahir dan tumbuh dengan tempat yang juga berbeda. Tapi walaupun sejuta bahkan seratus juta perbedaan kita, asal ada satu saja persamaan kita, itu adalah segalanya.

dan yang satu itu, kita sama :)

Aku, kamu. Kebingungan, berputar-putar. Muter-muter. Itu tidak salah, aku juga tak akan mengatakan bahwa kita hanya sekedar berpolemik. Karena aku pun seringkali begitu. Tak sabar menuntaskan tanyaku akan sesuatu. Kenapa begini, kenapa begitu. Dan itu wajar, ukhtiy ku.

Aku, kamu. Aku, kamu. Aku, kamu.

Aku ya aku, kamu ya kamu. Kita tidak saling memaksakan diri masing-masing. Jadilah dirimu seutuhnya. Aku pun biar jadi diriku. Tidak ada yang akan saling berkata, siapa yang lebih baik. Siapa yang paling benar.

Tapi tetap tak boleh terlupa, satu kesamaan kita itu. Satu saja, tapi segalanya. Maka betapapun bedanya kita, jika dibingkai dengan satu hal itu, dimana lagi bedanya? Jangan menuhankan diri. Sampai kita berkata,
“aku memang begini. Gak mungkin memaksakan diri.”

Seperti ini apakah?? Memaksakan diri untuk syariat memang sudah seharusnya kan, karena itu kewajiban. Aku pikir kita tahu jawabannya. Mungkin kau saja, mungkin kita berdua. Tentu lebih sering aku lah yang bertanya-tanya, kau hanya tak tahu saja...

-maka berfatwalah dengan hatimu, aku pun akan menanyai hatiku-

0 komentar:

Aku Gak Bisa Nyebut L

Pertama kali kenal adek itu, menanyakan namanya:"Lini kak,"jawabnya
aku : oh... Lini

"Bukan Lini kak, tapi Lini. Aku gak bisa nyebut eL," katanya lagi

:)

"Ohhhh...................Rini ya dek???" aku tersenyum lebar, dia juga... :))

Dan sore tadi, pertama kalinya dia menyebut kata saraaaa-iR dengan huruf R bergetar. :)

dia bilang : sebenarnya sudah lama aku bisa eR sih, kak.. Rini sembunyiin aja karena malu.. ^^


Allah, Kau selalu punya cara mengembalikan aku... keriangan Rini tadi sore membuat rembulan malam ini ikut tersenyum. Purnama yang membuat ketentraman hari sempurna.

hehehe, tak bisa menahan hati untuk tak menulis ini :)
1 menit lagi jam sepuluh, ayo belajar lagi :)
semangat :)
*kangen Huda*

0 komentar:

Kau Bukan Yang Dulu Lagi

Lelah, sangat lelah. Bersimbah air mata, meneriakkan kesah.
Ya Allah, kenapa kesalahan diri ini tak sudah-sudah
Aku yang telah berikrar akan menatap wajahMu kelak. Ragu, akankah mewujud begitu

TT.TT

Berhentilah abu-abu, kau sudah tahu. Sudah sangat tahu. Setiap hari bertambah ilmu, tapi bertambah pula kesalahanmu.


Terngiang lagi pesan seorang ustadz:
berdoalah agar dari rahimmu terlahir generasi yang akan memenangkan peradaban. Peradaban yang pernah menjadi mimpi, obsesi 7 abad umat Islam.

Jika salah satu madrasah agungnya terus saja kebingungan. lalu mujahid-mujahidah seperti apa yang akan hadir,,

Lalu mulai menata dua kata menjanjikan: aku akan..

dan telah lama, "aku akan" ini sekedar bualan.

sebelum benar-benar tak punya kesempatan : "Ya Tuhan kami,, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan."
(32:12)

Kali ini aku benar-benar akan... kuatkan,,,

0 komentar:

Pemandangan Gerbang Kalimongso

Sejak awal, saya sangat tak suka Kalimongso. Karena di awal perkuliahan dulu, saya sering tersesat di sana. Kalimongso yang padat dan membingungkan.

Tapi dari semua ketidak-sukaan itu, yang menjadi perkara utama bagi saya adalah gerbangnya. Baru saja melangkah, asap-asap rokok berkepulan. Uhuuk, uhukk..bikin batuk.

Maka, jadilah ritual yang harus dilakukan setiap melewati gerbang Kalimongso adalah melangkah, bergegas, tak lupa sesaat menahan napas. Satu lagi, jangan lupa menundukkan pandangan lebih dalam.

Semua hal itu membuat saya semakin bersyukur menjadi The Ceger,, :)



Ini Jumat, Jumat yang khidmat. Menyimak materi kajian Jumat dari seorang ustadzah (mbak) yang juga berasal dari Padangpanjang

Setelahnya, masih ada kuliah PKPD terakhir menjelang UAS. Mampir dulu ke kosan teman terdekat. Dan itu di Kalimongso. Bersiap menahan napas dan menunduk lebih dalam. Tapi subhanallah, kali ini berbeda. Melangkah di gerbang Kalimongso, saya terpana. Terpesona.


Seorang laki-laki berkalung kuning sedang diselimuti kabut (baca : asap rokok). Bukan, bukan dia yang merokok. Lisannya justru sedang komat-kamit dengan mushaf tertutup di tangannya. Dia tengah murajaah sementara asap rokok terbang melayang di sekelilingnya (dramatis).

Dan di seberangnya ada seorang pria, yang (walau) sedang menikmati setiap hembusan rokoknya, dia pun terlihat terpukau juga.

Dalam pandangan saya, lelaki berkalung kuning itu tampak semakin khusyuk, tawadhu, meresapi setiap desah ayat yang mengalir dari lisan nya (kesimpulan : saya harus lebih me-manage ghadhul bashar nih). -,-sedang yang merokok terpana, tertegun juga...


Bukan kesan ekstrim yang didapatkan oleh sekeliling, melainkan merasa sedikit tersentuh.

Kita tak pernah tahu apa yang ada di hati orang lain. Mungkin hati mereka selama ini semakin mengeras karena tak ada yang mencoba melembutkan.

dan setidaknya, pemandangan ba’da Jumatan tadi adalah secuil air yang perlahan mengikis dekilnya hati mereka (ahli hisabdi gerbang Kalimongso). Mungkin bukan sekarang. Biarkan mereka sekedar terpana saja sekarang. Dan esok akan ada jalan lain bagi mereka menuju secercah cahaya harapan, harapan untuk kebaikan.

Untuk laki-laki ber-name tag kuning:Terima kasih untuk murajaah di situ. Terima kasih, menghadirkan pemandangan mengagumkan bagi perokok di seberangmu itu.Terima kasih, walau saya tak kenal. Kalau ketemu lagi, insyaAllah gak ingat. Sebelumnya pun belum pernah kenal. Tapi, terima kasih, saya pun, ada noda yang mengelupas di hati saya, yang juga sudah lama mengerak, mengeras. Membatu, membeku.

wahai hamilal Quran..kalian selalu menggetarkan..

0 komentar:

Bersahabatkan Mentari

Mentari Halimun.

Dia menjadi sahabat hati saya, tiga tahun  di asrama. Hmm, berharap selamanya. Sampai ke syurga.

Dia mengajarkan sebenar-benar arti kata “saudara”. Menampar saya begitu dahsyatnya, betapa saya tertinggal jauh dari seorang Mentari yang sedang berakselerasi ini. Dan jadilah, selama kelas 3 SMA, saya terseok-seok mengejar amaliyahnya. Capek banget ^^

Saya, siapalah saya di antara seribu atau sejuta sahabatnya. Saya jelas bukan siapa-siapa, hanya akhwat kurang pergaulan yang kebetulan sempat menjadi teman kamarnya. Ya, disatukan dalam satu ruang yang dengan sepenuh hati dan segenap jiwa, kita namai FK ITB.
(Tergetar hati menyebut nama itu lagi. FK ITB.)

Ingat, usulan nama pertama kali itu : Al An’am, karena kita kamar no 6 dan surah Al An’am adalah no 6 dalam Al Quran. Kalau ‘ain-nya dihiraukan, jadilah dia Al Anam. Pas banget. Hehehe, sayang, setelah di cek lagi Al An’am  artinya adalah ternak :D

Mentari Halimun, menularkan semangat Simak-UI, SNMPTN, dan seleksi perguruan tinggi. Kamar kita itu aromanya nyeremin karena aura mimpi Mament yang begitu menyengat.

Terpental, jatuh, bangkit lagi. Melambung dengan mimpi. Ah, bagaimana harus saya ceritakan hebatnya kawan yang satu ini.

Dan saya melupakan ulang tahunnya. Hiks hiks, ini mungkin bukan masalah besar bagi akhwat perkasa, aktivis militan sekaliber Mament.Tapi saya tak perlu se-merasa bersalah ini, kalau bukan dia yang selalu mengingatkan saya hari-hari ulang tahun teman-teman lainnya. Tentu saja mengingatkan teman-teman saat saya ulang tahun, iya kan Ment?

Met milad yo Ment..... Widya sayang, kagum, dan taragak samo Mament. Maaf yo Ment, baru ngecek salamaik kini.. Mament baru 19 baru nak. Yang paling bungsu di kamar, yang paliang gagah di antaro awak barampek. Sayang Mament (sambil meluk boneka monyet dari Mament)

(Tahu gak Ment, setiap kali baca juz 26 pasti Widya ingat Mament. Ingat Mament yang sangat gigih menyelesaikan juz 26 nya.) *berkaca-kaca*

0 komentar:

Fair

Ini semacam pengakuan.. Tentang kecemburuan, keirian.. Sepertinya, kalian harus tahu bahwa saya cemburu :')

Tak diterima di HWC karena kebodohan kecil saya, mungkin anugerah. Tergantung bagaimana menyikapi.

Entah, dengan masih banyak rutukan dalam hati seharian itu. Tak terhitung kata-kata penghiburan dari orang sekitar. Tak jarang juga mereka keheranan, kenapa saya harus sebegitu reaktifnya terhadap "penolakan" ini. Terlalu berlebihan, jika harus masam muka dan sembab mata. Tapi saya pikir, saya sungguh terluka. Hahaha,, awalnya. Walau sekarang masih ada bersitan rasa tak rela :')

-walaupun tidak menjamin juga saya akan diterima kalau tidak lupa-

Intinya, saya ingin menyampaikan, saya sangat ingin ikut pelatihan itu, tapi belum rezekinya ada di situ. Jadi yang diterima harus sungguh-sungguh. Semoga tulisan kalian menginspirasi kebaikan. Jangan sia-siakan kesempatan, ada orang lain yang menginginkan tapi kalian yang mendapatkan. Selamat ya, semangat ya, kawaaan. Saling mendoakan :)


Juga maaf, untuk yang menerima ketidak-dewasaan saya menyikapi ini. Maklum, namanya juga patah hati... Ini sudah baikan. Saling mendoakan yaa.

Maka menulislah teman. Menulislah untuk kebenaran.. membangun peradaban.

Maaf pada Nurma, Shahfira.
Maaf pada Rosa, Fafa. Jangan-jangan Rosa sakit karena ekspresi jahat widya (ge-er).
Taman-teman yang diacuhkan seharian.
Maaf pada panitia HWC.
Maaf pada ketidak-ikhlasan saya pada siapa saja.


Mudah-mudahan ini (memang) disampaikan dengan ketulusan, selamat berjuang :')

0 komentar:

Telah Selesai

Aku ingin ada di situ, di samping ibuku. Lalu mengadu. Mengadu sepuasnya..

Tentang apa yang ku tangisi. Tentang apa yang ku sesali. Tentang apa yang ku tulisi..

Lalu ku ingat dia menatap tangisanku. Membelai dan mengusap air mataku. Mengecup, menghirup luka yang tersimpan di sana. Aku yang luka dan tak mau sembuh dibujuknya :

“Cerita hidup kita sesungguhnya telah selesai. Telah selesai di sisiNya dan kita tinggal menjalaninya. Menerima.”


Semakin menyembur luka-luka. Meraung-raung pilu. Dia lalu diam mendengarkan kesakitanku.. Kuceritakan arti sakit bagiku.. Kuberitahu mimpi yang hancur karena kebodohanku. Walau dia lebih tahu, lebih tahu arti kecewaku. Arti kesedihanku. Tahu lebih dari aku.

Aku pikir aku ingin pulang.

Dan kawanku, aku memang marah. Marah, murka yang bertambah-tambah. Tapi tidak padamu. Aku sedang marah pada diriku..

Tangisanku, sesalku, piluku. Begini caraMu mengembalikanku. Agar aku tak lupa cara merintih. Bahwa aku memang bukan siapa-siapa..

Ku tanya, mengapa aku harus begitu kecewa?
dia diam saja, tersenyum. Mengusap air mataku, dan matanya memerah juga..

0 komentar: