Seorang Pejuang

Hanya senyum mengembang saat (ternyata) beberapa teman menanyakan : "kok widya belakangan jarang nulis ?"

Iya benar, mereka sangat perhatian. Bahkan widya sendiri tak sadar kalau akhir-akhir ini tak lagi dermawan berbagi kata. Sebenarnya tak ada alasan kenapa, tapi akhirnya dari pertanyaan itu jadi berkesimpulan dan menyadari ternyata menulis itu menyehatkan dan melembutkan hati. Memang benar, adalah lega setelah warna-warni rasa menjelma jadi kata.

Mulai merangkai-rangkai apa saja yang sudah dilalui selama kehilangan menabur makna. Malam ini seperti titik kulminasi dari segalanya.

Dua hari yang lalu, menerima sms yang menyengat semangat : "Assalamu'alaikum hafizhah". Tepat saat hujan menderas. Seolah guyuran, hembusan angin, basah kuyup yang disuguhkan sungguh-sungguh ingin mengaminkan. Dan mata saya juga hujan. Mengingat bincang kami sehari sebelumnya ditingkahi es krim coklat. Tentang kerisauan : widya takut jika terlanjur malu pada kepalan tangan, pada ghirah yang telah terikrarkan, pada air mata yang mendesak berjatuhan.

Maka bentuk tanggungjawab pada akad hati untuk menuntaskan adalah realisasi. Kok mogok terus. Merenungi kemudian merintih lagi: Rabbi, aku tak tahu akan sesulit ini. Mulai membalik buku yang sebenarnya telah selesai dibaca, seperti benar-benar lupa apa isinya. Dan selalu saya percayai, relasi kualitas hapalan dan keimanan itu sangat dekat. Menggali semua yang pernah menjadi motivasi, ada sebuah tips seorang senior "jaga hati walaupun sulit."

Malu, tapi tak boleh berhenti pada malu itu sendiri. Karena hari tak mungkin berhenti menunggumu memperbaiki janji.

0 komentar: