Dear Widya Yang Baik

“Hanya itu tanggapan widya??”

Kau bertanya padaku.

Awal-awal mulai kuliah, pernah seorang teman menceritakan tentang kerenggangannya demgan sahabat SMA nya. “Aku dan sahabat SMA ku tak akan begitu. Kami masih sering mendiskusikan banyak hal hingga sekarang.” Memercik bangga dalam hati.

Aku jadi ingat saat penghujung waktu kita di asrama, kau bercerita tak bisa nyambung dengan teman-teman SMP mu. Mungkin karena sudah berbeda fikrah, atau karena apalah. Aku lupa spekulasimu waktu itu karena aku sibuk dengan kecemasanku. Lalu kutanyakan padamu,”widya takut kalau nanti kita kayak gitu. Punya kehidupan masing-masing dan akhirnya saling melupakan.”

Mantap kau membantahku, betapa kau yakin tak akan pernah menghadapi fase yang sama seperti teman SMP mu itu terhadapku. Karena menurutmu kita sudah saling menjadi bagian hidup masing-masing. Begitu kan kau mematikan kekhawatiranku.

Hingga akhirnya, saat setiap balasan sms mu terasa asing bagiku. Mungkin begitu sebaliknya kau rasakan atasku.

Hingga, sepertinya kau mulai tak betah.

Dan besok dan besoknya lagi, semakin terasa ganjil saja dialog kita.

Dan besok dan besoknya lagi, seolah kita mulai terbiasa, tak lagi saling mengisahkan masalah-masalah kecil yang dulu seperti ritual wajib kita berdua.

Aku tidak sedang marah gara-gara kemarin kau tidak mengucapkan satu dua atau lima kalimat selamat. Ini hanya cerita berapa bulan lalu yang belum kukisahkan padamu. Bukan marah padamu, hanya terperangah pada efek jarak dan waktu. Kau dan aku, dulu.

Salam rindu.

0 komentar: